Zuhud dan Keadilan Sosial


05/11/2013

Oleh: Miftah Fauzi Rakhmat

Picture

Pada bab zuhud yang ketiga dari ustad Haidar adalah zuhud dan kecintaan pada sesama. Disitu beliau memulai dengan sebuah syair dari Abu bin Azim yang ditulis dalam buku Amatullah Armstrong, yang bukunya diterbitkan Mizan. Amatullah Armstrong itu seorang perempuan muslihah, biarawati Australia yang masuk islam karena dengan puisi. Ketika gurunya menyuruh dia untuk mengapresiasi puisi, ia ketemu puisi Abu bin Azhim itu dan ia sampaikan di depan kelas. Lama setelah itu ia renungkan puisi itu sampai akhirnya ia mempelajari islam. Dan ia memilih masuk islam karena puisi itu.

Ceritanya dalam puisi itu Abu bin Azhim bermimpi. Dalam mimpinya itu dia melihat malaikat datang, dan kata malaikat itu, “Aku bawa nama-nama yang menjadi kekasih Tuhan.” Abu bin Azhim tanya, “Apakah namaku ada diantara nama-nama itu.” Kata malaikat itu, “Tidak, namamu tidak ada.” Lalu kata Abu bin Azhim, “Kalau begitu masukkan aku kedalam orang yang mencintai mereka.” Esok harinya Abu bin Ashim bermimpi lagi malaikat datang, dan malaikat itu bilang kepada Abu bin Ashim, “Nama kamu berada diatas semua nama-nama itu.” Jadi ciri zuhud yang berikutnya adalah kecintaan dia yang besar kepada sesama manusia. Apalagi kepada kekasih Allah Swt. Bukan saja kepada sesama manusia, tapi kepada seluruh alam semesta.

Ketika Junaid al-Baghdadi lewat disuatu tempat, dia melihat bangkai anjing dan ada perasaan jijik terhadap bangkai anjing itu bersama murid-muridnya. Dia lewati bangkai anjing itu dengan perasaan jijik. Lalu dia melangkah menjauhi bangkai anjing itu. Tiba-tiba Junaid al-Baghdadi menyadari kekeliruannya. Dia shalat dua rakaat, dia balik lagi ketempat bangkai anjing itu dan ia mandikan, ia kafani, dan ia kuburkan seperti layaknya jenazah manusia. Lalu murid-muridnya tanya, “Mengapa kau lakukan itu pada bangkai anjing.” Kata Junaid al-Baghdadi, “Karena tadi ketika kita melewati bangkai anjing itu, timbul rasa jijik dalam hatiku. Dan aku merasa berdosan karena aku telah merasa jijik terhadap sesuatu yang telah Allah ciptakan dengan begitu sempurna.” Jadi seorang yang zuhud adalah ia yang melepaskan ketakutan dia, kejijikan dia terhadap segala sesuatu. Kalau timbul dalam hati kita perasaan jijik terhadap apapun, itu ciri bahwa kita tidak bisa zuhud. Saya juga sampai sekarang tidak bisa untuk melawan perasaan tidak jijik itu. Ya memang harus latihan sih. Dan mungkin masing-masing kita mempunyai binatang yang kita jijik terhadapnya. Dan Junaid itu merasa jijik terhadap bangkai yang sudah tidak bernyawa, yang sudah tidak punya apa-apa. Tapi ia perlakukan itu (dengan baik, pen.), dan ia bilang pada muridnya, aku kafani dia, aku shalatkan dia karena itu kaffaratku terhadap rasa jijik yang keluar dari hatiku.

Apalagi Abu Dzar dan siapa sahabat nabi yang satunya lagi, ketika ia menjauh karena ada orang miskin seperti ada rasa jijik terhadap orang yang miskin itu. Merasa tidak satu level-lah, Rasulullah menegur dia. Lalu sahabat itu berkata pada nabi, “Ya Allah sebagai balasan atas satu perasaan sesaat saja yang muncul dari diriku karena tidak merasa cocok dengan sahabat nabi yang miskin itu, aku serahkan setengah hartaku kepada dia.” Itu kiffarat yang dia berikan karena dia merasa menjauhi seseorang yang karena status sosial, mungkin karena miskin, lalu ia merasa renggang. Itu yang sifatnya lebih halus lagi.

Jadi ketika sorang zahid itu menerapkan kecintaan dia kepada alam semesta, kita mungkin tidak mampu menjadi para kekasih Tuhan. Tapi lebih berat lagi kita itu menjadi orang yang mencintai para kekasih Tuhan. Kerana ketika kita sampai pada tahap itu, maka kecintaan kita itu adalah kecintaan pada seluruh alam semesta. Dan disitu juga ada pesan moral dari puasa sebagai latihan ketaqwaan kita. Diantara ciri orang yang bertaqwa adalah yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablik, beriman atas apa yang diturunkan atas kamu dan beriman kepada apa-apa yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kamu. Ciri orang yang bertaqwa adalah toleran. Kalau kita sudah sampai pada tingkat ketaqwaan tertentu, kita itu akan sangat toleran terhadap perkembangan apapun, terhadap perbedaan apapun, terhadap agama apapun, bahkan terhadap alam semesta.

Kita tahu, kita masih merendahkan agama lain. Kalau kita masih merasa surga hanya milik kita saja, kita masih belum sampai pada derajat taqwa, apalagi zuhud yang sesungguhnya. Karena kita tidak bisa toleran terhadap sesama makhluk Allah Swt. Dan itu adalah pesan Gus Dur yang ingin saya ulangi lagi karena itu menjawab teka-teki saya selama ini. Ketika Gus Dur ditanya tentang pluralisme sewaktu di Sabuga, lalu dia menjawab, “Saya kan hanya mengamalkan al-Qur’an. Kita itu tidak ngaji al-Qur’an dengan benar. Coba kaji lagi al-Qur’an.” Kita sudah diciptakan berbeda kok. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujaraat: 13), dan lain sebagainya.

Lalu kata Gus Dur itu, ada ayat walan tardha ankal yahuda wan nashaaraa hatta tattabia’ millatahum. Kalau saya ngasih pengajian, saya sering ditanya ayat itu dan saya tidak mampu menjawabnya. Tapi ketika dengar dari Gus Dur, itu membuka sesuatu yang selama ini membeku dalam pikiran saya. Dan tidaklah orang Yahudi dan Nashrani itu ridha sampai kamu ikuti agama mereka. Kata Gus Dur, “Jelaslah orang yahudi dan nashrani itu tidak akan ridha sama kita karena orang islam itu datang dengan agama baru. Kalau seseorang datang dengan agama baru, dia tidak akan rela karena yang dia miliki kemudian diganti dengan yang baru. Itu sifat orang yahudi dan nashrani. Justru, disitu ada mafhum mukhalafah, orang islam jangan seperti orang yahudi dan nashrani. Justru kita harus rela kalau orang lain berbeda dengan kita. Kita harus rela kalau orang lain tidak ikut ajaran kita. Kita harus rela kalau orang lain tidak satu paham dengan kita. Dan kalau kita tidak rela karena orang itu tidak sepaham dengan kita, (berarti) kita masih yahudi dan nashrani.

Jadi ciri orang yang bertaqwa adalah bersifat toleran dan itu buah dari kezuhudan. Kalau orang sudah zuhud, terbuka hatinya untuk mencintai siapapun. Termasuk orang yang ia dibenci sekalipun. Orang melaknat kita, mengutuk kita, tapi harus kita cinta. Orang memusuhi kita, membenci kita, menyebarkan aib kita, tapi kita masih mencintai dia, masih mendoakan dia. Seperti al-Hallaj ketika orang-orang melaknat dia, mencacimaki dia, didoakan oleh al-Hallaj orang-orang itu. Dan al-Hallaj mengatakan, “Mereka lakukan itu karena kecintaan mereka kepada agama mereka. Mereka tidak tahu apa yang aku alami.” Didoakan orang-orang yang melaknat dia, mencacimaki dia, bahkan akhirnya mengeksekusi dia. Itu orang yang sudah sampai pada tingkat zuhud yang sangat tinggi. Ketika ketika kepada orang yang memusuhi dia sekalipun, dia cintai. Begitu juga Rasulullah Saw dan para Imam as.

Sampai hari ini didalam hati saya itu ada pertanyaan ketika Imam Husain as itu dipenggal oleh Dzimir laknatullah alaihi, apa ada dalam hati Imam Husain itu kecintaan kepada Dzimir? Orang yang sudah mendhalimi beliau, mendhalimi keluarganya, bahkan akhirnya mengeksekusi Imam Husain as ( Cucu Rasulullah Saw). Dulu saya pernah diskusi agak rame berkenaan dengan apakah para Imam itu tahu siapa yang akan membunuh dia. Saya bilang, “Menurut saya, tahu.” Apakah Rasulullah tahu beliau akan syahid, apakah Imam Ali tahu beliau akan syahid, apakah Imam Husain tahu beliau akan syahid. Saya jawab, iya. Kalau begitu mereka bunuh diri, karena mereka melangkah pada sesuatu yang sudah mereka ketahui. Imam Husain tahu kalau pada akhirnya beliau akan syahid, tapi tetap beliau berangkat. Dan ketika Imam Ali itu membangunkan Ibn Muljam untuk shalat subuh yang sudah menunggu dengan belati dibalik jubah dia untuk membunuh Imam Ali, ucapan Imam Ali kan, “Bangunlah kamu. Aku melihat ada niat buruk dikedua matamu.” Imam Ali juga sudah tahu (kalau beliau akan dibunuh, pen.), tapi tetap beliau shalat hingga kemudian dipenggal dari belakang. Tetap Imam Ali itu mengajak sampai detik terakhir, karena kecintaan.

Seorang yang sudah sampai tingkat kezahidan yang sangat tinggi, sampai detik terakhirpun ia tetap menunjukkan kecintaannya bahkan kepada orang yang hendak membunuh dia. Jadi kepada Abdurrahman ibn Muljam juga masih diajak amar makruf nahi mungkar, diajak shalat subuh oleh Imam Ali. Dan walaupun Imam Ali tahu ada niat buruk dikedua mata Abdurrahman ibn Muljam itu.

Imam Husain juga begitu, dia berikan peluang, ajaibnya. Dalam kisah asyura itu kan, terlepas benar tidaknya sejarah ini, tapi ketika Imam Husain hendak dipenggal dari depan, pedang itu tidak bisa melukai Imam Husain. Dan kata Imam Husain, “Kamu tidak bisa melukai aku dari arah itu, karena disitulah dulu nabi sering mencium aku.” Imam Husain kasih isyarat kepada pembunuhnya itu. Kemudian dibalikkanlah tubuh Imam Husain itu, jadi Imam Husain telungkup ke arah bumi, lalu kemudian dipenggal dari belakang. Nah, bayangkan orang sampai detik terakhirpun diberi kesempatan untuk bertaubat. Kepada ibn Muljam juga diberi kesempatan, walaupun para Imam itu tahu apa yang akan terjadi, itu tidak menafikan kebebasan berkehendak yang ada pada masing-masing individu itu. Tidak menafikan kebebasan dia untuk memilih, sampai detik yang terakhir.

Ibn Muljam itu sampai detik terakhir dia punya pilihan. Sampai Imam Ali mulai ruku’, dia punya pilihan apakah dia menebas Imam Ali atau tidak. Begitu juga Dzimir, dia punya pilihan sampai detik terakhir ketika pedang dia sedang tidak mampu melukai Imam Husain dari arah depan, masih ada pilihan pada dia bahkan bertaubat pada saat itu. Tapi ketika hati seseorang itu sudah mengeras dari pintu taubat, maka terjadilah apa yang sudah terjadi. Kebebasan berkehendak tidak dinafikan, walaupun para Imam sudah tahu ilmunya. Dan itu karena kecintaan mereka bahkan kepada orang yang memusuhi mereka. Dan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada Allah Ta’ala, kemudian kepada para kekasih Allah Swt, setelah itu adalah kepada seluruh kecintaan Allah Swt. Jadi zuhud itu ditandai dengan ketidakterikatan hati kita pada dunia walaupun kita boleh mempunyai dunia itu, asal hati tidak terikat kedalamnya.

Lalu kepada apa hati itu kita ikatkan? Hati kita itu kita ikatkan dalam perwujudan cinta kita pada sesama. Sesama manusia dan kepada alam semesta. Kalau kepada bangkai yang jijik saja Junaid al-Baghdadi bisa menunjukkan kecintaan dia, maka apalgi kepada orang, kepada makhluk, kepada hamba Allah Ta’ala yang seumur hidupnya berada dijalan Allah Swt. Kepada para Imam as., kepada para nabi dan para rasul itu kecintaan kita harus lebih dari semuanya. Karena itu dalam al-Qur’an ada ayat bahwa Allah dan nabi itu lebih berhak untuk kalian cintai.

Jadi seorang zahid itu adalah orang yang bukan saja bekerja keras, tapi kerja keras dia itu ia tunjukkan untuk menyebarkan kecintaan kepada sesama. Dan menurut saya, itu tidak menafikan orang untuk ikut serta dalam perubahan sosial, perubahan politik yang ada di tengah-tengah masyarakatnya. Hampir semua revolusioner dalam sejarah islam, juga ia adalah seorang sufi. Sudan itu bisa memimpin melawan penjajah dari Inggris dan Prancis, padahal dibelakangnya ada seorang sufi dari tarekat Sanusiyah, kalau saya tidak salah. Sampai sekarang itu baju tradisional Sudan yang putih, berbeda dengan baju arab yang lainnya, itu baju tarekat yang kemudian jadi baju nasional karena pemimpinnya mengalahkan penjajah waktu itu dan dicontoh oleh rakyatnya. Itu baju tarekat seorang sufi yang bisa mengalahkan penjajah waktu itu.

Imam Khomeini juga adalah seorang sufi (zahid) yang sangat agung menurut saya, beliau juga pemimpin revolusi. Malah berperang sekian tahun lamanya. Tidak menafikan diri dari perubahan-perubahan sosial, tapi tidak mengikatkan diri pada dunia sedikitpun. Imam Khomeini sampai akhir hayatnya tidak mempunyai apapun kecuali baju. Itupun hanya beberapa pasang saja. Di Indonesia juga kita kenal ada Imam Bonjol, ada Pangeran Diponegoro.

Yang terkhir, saya itu selalu terngiang ucapan ustad Jalal ketika mulud-an tahun ini di depan Madrasah as-Sajjadiyah. Kalau Nabi Saw itu datang diutus Allah Ta’ala dan yang beliau sampaikan adalah apa yang selama ini kita sampaikan dalam pengajian-pengajian itu. Kalau nabi datang kepada kita dan menyampaikan bahwa kita itu harus memelihara hati kita supaya tidak hasud, tidak dengki, dan kita harus sabar karena BBM dinaikkan misalnya. Kalau nabi datang seperti itu, orang-orang kafirpun tidak akan ada yang protes satupun. Tidak akan ada yang memerangi nabi. Tidak akan ada yang akan melempari sampah kepada Rasulullah. Kalau ajakannya itu hanya ajakan yang sifatnya seperti itu. Tidak ada yang akan memerangi nabi kalau ajakan nabi juga disisi lain hanya untuk beribadah saja, hanya untuk dzikir saja kepada Allah Ta’ala, dzikir sama-sama (berjemaah). Orang Quraisy juga bahkan akan ikutan dzikir dengan nabi itu. Tapi nabi datang dengan protesan bahwa dalam islam tidak ada beda antara orang kaya dan orang miskin, tidak ada yang disebut dengan bangsawan. Ukuran kemuliaan itu hanya ketaqwaan. Seseorang tidak harus menghamba kepada orang lain. Seseorang tidak harus menjadi budak orang lain. Orang kaya harus menyerahkan sebagian hartanya kepada orang miskin. Kemapanan orang-orang Quraisy waktu itu diusik oleh Rasulullah. Dan karena itulah mereka memilih untuk memerangi Rasulullah Saw.

Tapi kalau yang didakwahkan adalah zuhud versi yang pertama, tidak akan ada yang akan memerangi nabi. Justru karena dia datang dengan konsep zuhud bahwa manusia itu tidak harus memberatkan hatinya pada siapapun dan dia harus memerdekakan hati dia dari perbudakan kepada apapun, juga memerdekakan orang lain dari perbudakan kepada yang lainnya. Termasuk kepada dunia, kepada nikmat-nikmat yang datang dari Allah Swt.

Zuhud dan Keadilan Sosial


05/01/2013

Picture

Miftah Fauzi Rakhmat

Umumnya zuhud telah banyak dibicarakan dimana-mana. Baik itu zuhud yang dipraktekkan atau zuhud yang secara teoritis disampaikan. Secara teoritis zuhud itu sama dengan wara’. Zuhud berarti menahan diri, tetapi bedanya dengan wara’, ketika Imam Ali bin Abi Thalib as bertanya kepada rasulullah, “Amalan apa yang paling afdhal di bulan ramadhan.” Kata Rasulullah, “Amalan yang paling utama di bulan ramadhan adalah wara’.” Wara itu menjaga diri (menahan diri), zuhud juga begitu. Zuhud itu sama dengan wara’.


Bedanya kalau wara itu melarang kita dari apa yang diharamkan oleh Allah Swt., zuhud justru melarang diri kita dari yang mubah, menahan diri kita dari yang memang dibolehkan Allah Swt. Buat Tuhan tidak ada persoalan apakah kita melakukannya atau tidak. Tetapi kita yang menahan diri untuk melakukannya. Itu yang disebut dengan zuhud secara harfiah, artinya secara bahasa. Sama seperti Imam Ali as. ketika beliau mengatakan, “Yang membuat para imam lebih utama dari para nabi adalah, kepada Nabi Adam diberikan semuanya tetapi yang satu perintah untuk ditahanpun itu dilanggar oleh Nabi Adam, sementara buat aku Allah izinkan berbagai macam kenikmatan dunia tapi aku larang diriku dari menikmatinya.” Beliau melakukan zuhud. Melarang dirinya dari melakukan apa yang dibolehkan Allah Swt. Dan itu kebanyakan berhubungan dengan urusan dunia.

Suatu saat Jalaluddin Rumi bercerita tentang buruk merak yang karena punya bulu yang sangat indah, ia khawatir dikejar oleh pemburu terus menerus. Lalu suatu saat ia cabuti bulu-bulunya yang indah itu. Sahabatnya melihatnya, “Apa yang kamu lakukan.” Kata burung merak itu, “Karena aku tidak bisa tentram ketika aku lewat di suatu tempat karena pemburu itu masih selalu mengintai aku. Jadi lebih baik aku cabuti bulu-buluku ini, kemudian aku selamat dan hatiku jadi lebih tentram.” Kata sahabatnya lagi, “Megapa engkau letakkan ketentramanmu itu pada bulu-bulu yang menghiasi tubuh kamu.” Nah, dihadapkan pada zuhud yang sering dihadapkan pada dunia, lawan zuhud itu biasanya dunia. Dan kadang-kadang sufi yang paling awal itu ditandai dengan kezuhudan mereka untuk menjauhi dunia. Melarang diri mereka sendiri untuk menikmati dunia. Konsep zuhud yang paling awal mungkin sebetulnya terjadi pada zaman Nabi Isa as. ketika al-khawariyyun itu (ketika Nabi Isa as diangkat oleh Allah Swt.) lalu mereka menyepi karena pengikut Nabi Isa dikejar-kejar oleh penguasa waktu itu. Akhirnya mereka menyepi ke gunung-gunung, ke puncak bukit, ke goa-goa, dan disitu hanya beribadah saja kepada Allah Swt. Itu mungkin catatan yang paling awal dalam konsep memisahkan antara zuhud dan dunia. Bahwa orang yang berzuhud itu adalah yang melepaskan keterikatan pada dunia sampai pada bentuk yang seperti itu. Dulu terjadi pada para pengikut Nabi Isa as ketika mereka dikejar-kejar oleh penguasa. Dan belakangan di zaman islam, konsep seperti itu muncul lagi ketika secara politik kaum muslimin terbagi kedalam beberapa kelompok.

Pada zaman Imam Ali bin Abi Thalib as ada menjadi pengikut imam Ali, ada yang bergabung dengan muawiyah, ada juga yang memilih untuk berada di tengah-tengah. Salah satu yang ditengah-tengah itu adalah Ibn Umar. Yang dilakukan oleh Ibn Umar, ia beribadah saja di masjid. Beliau tidak ikut perubahan sosial politik pada waktu itu. Tidak ikut Imam Ali as, tidak juga bergabung dengan Muawiyah. Akhirnya para tasawwufpun ada yang mengikuti tarekat Ibn Umar. Itu sebelum ia masuk pada tahap tarekat. Dalam buku ini (Buku Saku Tasawwuf, Haidar Baqir, Pen.) ustad Haidar membagi perjalanan tasawuf itu pada tahap zuhud, lalu ada tahap tasawuf, yang ketiga tasawuf falsafi dan yang keempat tarekat. (Itulah, pen.) Perkembangan-perkembangan tasawuf. Awalnya hanya individu-individu saja yang zuhud diantara mereka. Kemudian murid-muridnya membentuk sebuah lembaga. Institusi yang menisbatkan ajarannya kepada gurunya. Masuklah pada abad ke-6 Hijriah, tasawuf yang sifatnya lebih kepada makrifat Allah Swt. yang disebut tasawuf falsafi dan paling akhir adalah membentuk tarekat.

Pada awal sekali kemunculan tasawuf itu ditandai dengan orang-orang yang bersifat zuhud. Dan zuhud itu adalah (yang dipraktekkan pada waktu itu) memisahkan diri dari dunia. Padahal tidak selamanya zuhud itu seperti itu. Seperti dalam kisah Rumi yang disampaikan tadi, kata kawan burung merak itu, “Kenapa kamu cabuti bulu-bulumu, yang harus kamu lakukan itu adalah meninggalkan keterikatan kamu pada bulu yang indah itu.”

Ada kisah seorang sufi Abu Yazid al-Bustami kalau saya tidak salah, suatu saat ia merasa bahwa menjadi muslim yang sejati, jadi sufi yang sesungguhnya adalah meninggalkan dunia. Dari mana kemudian ia dapat pemahaman bahwa seorang zahid itu harus meninggalkan dunia. Itu karena dalam perjalanan ia ditinggalkan kafilahnya, ia sudah kehilangan bekal.

Kata guru sufi itu, “Kenapa kamu memilih untuk menjadi burung yang patah sayapnya? Kenapa kamu tidak memilih burung yang satunya lagi, yang memberikan rezeki Tuhan pada burung yang patah sayapnya tadi.” 

Tiba-tiba ia sampai disuatu tempat dan ia melihat burung yang sudah patah sayapnya. Kemudian ada burung lain yang datang kepada burung yang patah sayapnya tadi dan menjatuhkan makanan yang dia pegang di paruhnya. Dijatuhkan makanan pada burung yang menggelepar-gelepar sekarat mau mati itu, dan burung itu menemukan makanannya. Kata sufi itu, “Kalau Tuhan saja memberikan rezeki pada burung yang ditengah padang pasir patah sayapnya, maka apalagi seorang hamba yang mengkhususkan hidupnya hanya untuk dunia saja.” Jadi dia memilih untuk tidak mendekati dunia. Namun ia bertemu dengan guru sufi yang lainnya, ketika ditanya kenapa ia memilih sufi yang seperti itu. Lalu ia mencerikan kisahnya, ia menemukan burung yang diberi rezeki oleh Allah walaupun ia sudah dicelakai oleh kawan-kawannya. Kata guru sufi itu, “Kenapa kamu memilih untuk menjadi burung yang patah sayapnya? Kenapa kamu tidak memilih burung yang satunya lagi, yang memberikan rezeki Tuhan pada burung yang patah sayapnya tadi.” Jadi pada burung itupun ada dua, yang kita ambil apakah misalnya kita beribadah kepada Tuhan lalu menjadi orang yang acuh pada perkembangan sesama bahkan tidak peduli dengan perkembangan disekitar kita. Hanya kepada Allah Swt. saja. Dan rezeki kita pasti dicapai. Tapi kata guru sufi itu, kenapa kita tidak memilih burung yang kedua, yang memilih untuk memberikan kelebihan rezekinya dan menyalurkannya pada burung-burung yang patah sayapnya.

Mungkin itu dipertentangkan antara konsep zuhud yang murni hanya beribadah kepada Allah Swt dan zuhud yang sesungguhnya. Zuhud yang sesungguhnya itu adalah zuhud yang beribadah kepada Allah Swt dengan berbagai macam cara tanpa melepaskan diri dari dunia. Laisa al-zaahidu an-laa yamliku syaia’, bal yuzaahidu an-laa yamlikuhu syaiu’, kata Imam Ali. (Bukanlah seorang zahid itu adalah orang yang tidak memiliki apapun, tapi seorang zahid itu ialah yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun). Bukan berarati kita jadi zahid lantas kita hidup miskin. Orang yang zahid itu adalah orang yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun.

Dan cara mengukur apakah kita sudah termasuk golongan orang yang zahid atau tidak, yang pertama adalah: apakah kita punya kecintaan terhadap sesuatu. Seorang yang zahid kecintaan itu kepada Allah Swt, tetapi semua kita itu (hati kita itu) terikat pada sesuatu, kita mencintai sesuatu. Kadang-kadang ada juga kecintaan pada sesuatu itu tidak kita pedulikan. Malah kita tidak punya sesuatu yang kita cintai dengan sungguh-sungguh. Dan saya termasuk orang yang tidak ingin mencintai sesuatu dengan sungguh-sungguh. Kecintaan saya mungkin lebih bersifat sebatas ibadah saja. Kalau saya mencintai isteri saya, mencintai anak saya, mencintai keluarga saya, itu saya takut untuk mencintai mereka dengan sungguh-sungguh. Karena ketika hati kita sudah terikat dengan cinta yang sesungguhnya maka Allah Ta’ala akan menguji kita berdasarkan kecintaan kita itu. Dan itu ujian yang pasti diberikan kepada siapapun, karena orang yang zahid hanya pasti akan mengikatkan kecintaannya itu kepada Allah Swt.

Saya punya kawan (tetangga), ia mendapat mobil baru dan memperlakukan mobil itu dengan baik. Setiap hari ia mencucinya dua kali. Dan setiap ada goresan sedikit saja, hatinya itu tidak tentram. Artinya dia tidak enak kalau melihat mobilnya terkena goresan sedikit saja. Akhirnya dibawa lagi ke dialernya karena masih ada asuransi untuk menutupi goresan itu. Dan saya bilang, “Kamu akan diuji lewat mobil kamu.” Karena dia memperlakukan mobil itu dengan begitu rupa. Dia bilang, “Saya punya mobil ini, saya akan urus baik-baik, dan saya akan perlakukan itu seolah-olah saya akan memakai mobil ini untuk selama-lamanya.” Dan saya bilang, “Kita akan diuji berdasarkan sesuatu yang kita cintai.” Tau-tau dia kasih SMS sama saya bahwa ketika mobilnya itu penuh dengan debu. Anak-anaknya menggambar dimobil itu. Karena menggambarnya diatas debu maka tergoreslah mobilnya itu dengan debu itu. Dibawa lagi mobil itu ke asuransi. Terakhir, mungkin sekitar seminggu yang lalu dia SMS lagi. Persis di depan rumah dia mobil itu kehilangan CD yang sangat mahal yang ia simpan disistu. Dan alat sterio yang ada dimobil itu dibobol oleh maling. Dan saya bilang, “Karena mungkin hati kita lekatkan kepada sesuatu yang kita cintai itu.”

Dan saya takut untuk mencitai sesuatu berlebihan. Mungkin juga tidak begitu berlebihan menurut kita. Tetapi kalau kita punya sesuatu yang kita anggap berharga, sesuatu yang hati kita lekatkan disitu, Allah Ta’ala akan menguji kita disistu. Bapak-bapak dan ibu-ibupun dapat praktekkan. Coba saja kita cintai suatu barang dengan berlebihan, Allah Ta’ala akan menguji kita. Dan yang paling tidak saya inginkan adalah kalau Allah Ta’ala menguji saya lewat orang-orang yang saya cintai. Jadi saya mencintainya antara ingin mencintai yang sesungguhnya sama dengan kekhawatiran saya takut diuji dengan sesuatu yang saya cintai.

Saya itu sering main bola. Dan kalau main bola biasanya cidera dikaki. Ada satu bagian pada kaki saya itu yang mulus. Sama sekali tidak terkena cidera. Saya takjub juga. Dan selama ini tidak saya perhatikan. Setelah saya perhatikan, esok harinya main bola saya cidera kena persis pada bagian (kaki yang tidak cidera, Pen.) tersebut. Seolah-olah Tuhan itu memberikan peringatan kepada saya, mungkin selama ini tidak mensyukuri bagian kaki yang tidak cidera tadi. Makanya agak khawatir kalau kita mendapat rezeki dari Allah Ta’ala, kemudian kita anggap atau kita pusatkan sepenuhnya pada rezeki dari Tuhan itu, Tuhan akan menguji kita. Karena pada saat ketika kita melakukan itu, kita tidak melakukan kezuhudan. Kita tidak menjadi orang yang zahid. Kita sudah melekatkan hati kita pada kepemilikan terhadap sesuatu. Seoranga zahid adalah ia yang hatinya tidak dimiliki oleh apapun. Tapi bukan berarti ia tidak bisa memiliki apapun.

Bab yang kedua tentang Keadilan Sosial yang disuguhkan panitia. Dalam buku Ustad Haidar, ia tertulis disini ialah Zuhud dan Cinta pada Sesama. Bahwa zuhud itu ditandai dengan kecintaan pada sesama. Dalam buku Ustad Haidar ini ia tulis zuhud dalam tiga bagian, zuhud I, zuhud II, zuhud dan kecintaan pada sesama. Pada bagian zuhud yang pertama beliau bercerita tentang konsep seorang zahid yang beribadah kepada Tuhan dan meninggalkan dunia. Pada bagian zuhud yang kedua beliau bercerita tentang para sufi yang justru hidup kaya raya. Tentang sufi-sufi yang kita kenal sekaranag ini, Fariruddin Attar, nama para sufi itu justru diambil dari profesi dia. Attar itu punya farmasi. Pekerjaan dia itu membuat wewangian. Attar itu artinya tukang yang membuat wewangian. Junaid al-Bahgdadi dikenal sebagai al-Qawariri, penjual pecah belah. Lalu al-Hallaj, yang terkenal dengan anaa al-haq-nya itu, mencari nafkah sebagai pemintal kapas, al-khazaz. Ada lagi Sari al-Saqati, penjual rempah-rempah.

Lalu disebutkanlah oleh ustad Haidar sebuah kisah ketika ada seorang sufi punya guru. Lalu si Sufi itu ingin berangkat ke Mursia. Kata gurunya itu, “Aku punya guru di Mursia, sampaikan salamku padanya dan berikanlah padaku nasehat. Tolong sampaikan kepada guru itu untuk memberikan kepadaku nasehat.” Berangkatlah murid itu. Ia cari guru itu yang bernama Syaikhul Akbar. Dan hampir semua orang kenal pada Syaikhul Akbar. Ditunjukkanlah rumahnya. Rumahnya sangat mewah. Semua orang di Tursia kenal sama dia. Agak bingung juga si Sufi itu karena ternyata guru gurunya dia itu adalah orang yang kaya raya. Dan takjublah dia karena gurunya yang dari tempat asal dia itu hidup sangat miskin. Ketika datang ke tempat Syaikhul Akbar itu dia sampaikan tujuan-tujuan dia, dan dia ceritakan salam gurunya, dia juga mengatakan agar Syaikhul Akbar itu memberikan nasehat kepada dia. Lalu kata gurunya itu, “Nasehat aku bagi gurumu itu adalah jangan terlalu memikirkan dunia.” Murid itu tersinggung, karena gurunya (Syaikhul Akbar, Pen.) hidup kaya raya, tapi kepada gurunya yang hidup miskin ia katakan untuk tidak terlalu memikirkan dunia. Ia sampaikan pesan itu pada gurunya yang dikampung dia, dan gurunya itu berkata, “Benar apa yang ia sampaikan. Jangan terlalu memikirkan dunia. Belum tentu orang miskin itu bisa berzuhud.” Karena ia hidup miskin, lalu ia memikirkan dunia. Pada saat yang sama zuhud itupun hilang dari dirinya. Sementara gurunya itu, ia hidup kaya raya, tapi hatinya tidak terikat pada dunia. Jadi yang membedakan seorang zahid yang sesungguhnya dengan zahid yang tidak adalah seorang zahid itu tidak harus meninggalkan dunia, tidak harus tidak berusaha, tidak harus kemudian sampai kaya.

Imam Ali suatu saat pernah mendatangi seorang sahabatnya, A’la bin Ziyad kalau saya tidak salah. Dan rumahnya besar. Kata Imam Ali, “Untuk apa rumah sebesar ini. Kamu tinggal dirumah sebesar ini?” dan A’la bin Ziyad tidak bisa menjawab perkataan Imam Ali. Muka dia merah padam mendengar ucapan Imam Ali. Sebelum dia bisa menyampaikan sesuatu kepada Imam Ali, beliau menambahkan, “Tapi kalau kamu ingin rumah kamu itu tidak hanya besar di dunia, tapi juga besar di akhirat, gunakan rumah kamu itu untuk amal shaleh.” Jadi Imam Ali tidak melarang orang punya rumah yang besar walaupun pada awalnya beliau tanya, untuk apa rumah sebesar ini. Tapi kemudian Imam Ali sendiri menjawab, kalau kamu ingin rumah kamu itu tidak hanya besar di dunia, tapi juga besar di akhirat, gunakan rumah kamu itu untuk amal shaleh. Tidak ada larangan khusus dari para Imam juga.

Tetapi yang disebut zuhud adalah kita memilih diri kita sendiri, menjaga diri kita, menahan diri kita dari yang dibolehkan Allah Ta’ala. Hal itu boleh kita nikmati, tapi kita bikin batasan-batasan sendiri. Misalnya, kenikmatan yang satu itu tidak akan aku nikmati. Ada banyak berbagai kenikmatan dunia yang dibolehkan dalam islam. Tapi kemudian kita membatasi diri kita sendiri dari tidak menikmati kenikmatan-kenikmatan dunia. Itulah yang disebut dengan zuhud. Dan definisinya kemudian kembali kepada diri kita, sangat subjektif. Ketika kita bisa membatasi dari berbagai kenikmatan, tergantung kita sendiri, terserah kita, kenikmatan yang mana yang kita batasi. Kenikmatan yang mana yang kemudian kita tidak mengizinkan diri kita untuk menikmatinya walaupun Allah Ta’ala memberikan izin untuk kita nikmati.

Anak di Mata Nabi


17/07/2014

Picture

KH. Jalaluddin Rakhmat

Membahas derita anak-anak baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang adalah satu pembahasan penting. Seperti halnya pembahasan dalam pencegahan penyakit, gizi, pendidikan, gelandangan, anak-anak terlantar, eksploitasi tenaga kerja anak-anak, dan dampak AIDS bagi kehidupan anak-anak. (majulah-IJABI) 


Untuk apa kita berbicara nasib anak-anak? Dalam semua bentuknya, perang telah menghancurkan ekonomi kita, meruntuhkan industri, mendominasi penelitian dan pengembangan, dan menyimpangkan pikiran-pikiran ilmiah terbaik dari dua generasi.

Seluruh derita perang ini paling berat dipikul oleh anak-anak kita. Kesejahteraan mereka dikorbankan, kesehatan mereka dihancurkan, dan masa depan mereka dirusakkan.

Di negara-negara yang mengutamakan senjata daripada kesejahteraan anak, kita menemukan anak-anak yang dipukuli, dianiaya, ditelantarkan orang tuanya, dan memanfaatkan tenaganya dengan upah yang murah. Atau paling tidak mereka tumbuh besar dengan tubuh yang rentan penyakit, otak yang terhambat, dan hidup yang tidak ceria. Atas dasar apa, kita memenangkan peperangan kita hari ini sehingga menghancurkan kehidupan anak-anak kita esok hari?

Berapa banyak anak-anak yang wajahnya yang kurus, matanya yang cekung, mucul lagi di layar TV. Sementara itu, di belakangnya, peluru-peluru senjata modern melesat dan para pemimpin dunia tertawa.

HAK-HAK ANAK DI DALAM ISLAM

“Seorang perempuan miskin datang menemuiku,” kata Aisyah Ra, “Ia membawa dua orang anak perempuan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Ia memberikan dua butir kurma kepada kedua orang anaknya. Ia bermaksud untuk memakan sisanya. Tetapi kedua orang anaknya berusaha merebutnya, sehingga kurma itu pun jatuh dari tangannya. Akhirnya, perempuan itu tidak makan satu butir pun. Aku terpesona dengan perilaku perempuan itu. Aku ceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah saw. Ia bersabda:

“Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Turmudzi)

“Barang siapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu ia melindungi mereka, mengasihi mereka, memelihara mereka dengan baik, ia pasti masuk surga,” kata Nabi Muhammad dalam riwayat yang lain.  (Al-Targhib wa Al-Tarhib,3:68)

Nabi menegaskan anak perempuan, karena pada zaman itu, anak perempuan tidak mempunyai hak sama sekali. Mereka dianggap beban ekonomi, sehingga sering dibunuh beberapa saat setelah mereka lahir. Al-Quran mengabadikan peristiwa pembunuhan anak perempuan itu, ketika Allah berfirman: Ingatlah ketika anak-anak perempuan yang dibunuh itu ditanya, karena dosa apa mereka harus dibunuh.” (QS.81:8)

Nabi memberikan contoh penghargaan kepada anak (khususnya anak perempuan), ketika memperlakukan Fathimah. Nabi memanggil putrinya :”Ummu Abiha” (ibu dari bapaknya), sebagai penghormatan atas kebaktian Fathimah dalam berkhidmat kepada ayahnya.

Bila Nabi tengah berada dalam majelis dan melihat Fathimah datang, dia segera bangkit. Tidak jarang dia mencium tangan Fathimah dihadapan sahabat-sahabatnya –cium penghormatan dan kasih sayang sekaligus. Kadang-kadang dia mencium dahi Fathimah seraya berkata “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah.”

Seorang pemuka kabilah, Al-Aqra’ bin Habis, melihat Nabi mencium anaknya. Dia keheranan dan bertanya, “Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak. Tak seorang pun aku cium.” “Aku tidaklah seperti kamu,” jawab Nabi yang mulia,“ Karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu.”

Ketika Rasulullah khawatir jika ada orang yang menyakiti hati Fathimah, maka dia mengumumkan kecintaannya kepada putrinya dengan berkata, “Fathimah belahan nyawaku, siapa yang menyakiti Fathimah dia menyakitiku. Siapa yang membuat Fathimah murka, dia membuatku murka juga.” (HR.Al-Bukhari)

Begitu eratnya hubungan kasih sayang antara Rasulullah dengan putrinya, sehingga kepergian Rasulullah ke alam baka’ sangat menggoncangkan Fathimah. Hampir setiap hari dia menjenguk makam ayahnya. Dia merintih di depan pusara ayah yang dikasihinya. Dia mengambil segenggam tanah kuburan dan mengusapkannya ke wajahnya seraya bersyair, “Apakah orang yang telah mencium tanah pusara Ahmad, akan dapat menghirup lagi semerbak wewangian. Telah menimpa daku musibah. Seandainya musibah itu jatuh siang hari, siang akan berubah menjadi malam gulita.”

Pada saat anak perempuan dipandang rendah, Nabi mengangkat Fathimah. Ketika kehadiran anak wanita dianggap bencana, Nabi menyebut Fathimah sebagai “Al-kautsar” (anugerah yang banyak). Dalam masyarakat Jahiliyyah yang bangga menguburkan anak perempuan hidup-hidup, Nabi menegakkan hak-hak anak secara terbuka. Belum pernah pemimpin dunia memerlakukan anaknya seperti perlakuan Nabi kepada Fathimah.

Hubungan batin diantara keduanya dicatat sejarah sebagai pelajaran abadi untuk umat manusia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita melihat seorang pemimpin agung memperjuangkan hak-hak seorang anak.

DIBERI NAMA YANG BAIK

Salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya ialah memberikan nama yang baik. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Ya Rasulallah, apakah hak anakku terhadapku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya; kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik.” (Syarh Risalah Al-Huquq,1:597) .

Apakah arti sebuah nama?

Nabi menegaskan banyak sekali hal penting dalam nama seseorang ketika seorang sahabat menyebutkan namanya “Hazn” (duka cita), Nabi menggantinya dengan “Farh” (suka cita). “Al-Mudhtaji” (yang terbaring) diganti oleh Nabi menjadi “Al-Munbaits” (yang bangkit). Orang yang namanya “Harb” (perang) diubah nabi menjadi “Silm” (damai), dan banyak lagi yang lain. (Al-Targhib, 3:71).

Anak berhak mendapat nama yang baik, karena seringkali nama yang diberikan oleh orang tuanya menentukan kehormatannya. Ahli hikmah berkata: “Jika kami belum melihat kalian, maka yang paling kami cintai ialah yang paling bagus namanya. Bila kami sudah melihat, maka yang paling bagus wajahnya. Bila kami sudah mendengar kalian, maka yang paling bagus pembicaraannya. Bila kami sudah memeriksa kalian, maka yang paling kami cintai adalah yang paling bagus akhlaknya. Adapun batin kalian, biarlah itu urusan kalian dengan Tuhan kalian.”

Nama itu penting, karena nama dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan akidah. Jang Odeng sudah pasti orang Sunda, Harahab jelas berasal dari keluarga Batak, Tukijo tentu orang Jawa, dan Al Atos terang menunjukkan keluarga Arab.

Islam menganjurkan agar orang tua memberikan nama anak yang menampakkan identitas Islam, suatu identitas yang melintas batas-batas rasial, geografis, etnis, dan kekerabatan (kinship).

Karena itu, Muhammad Ali boleh jadi orang Pakistan, Iran, Indonesia, atau Amerika Serikat. Tetapi hampir dapat dipastikan ia orang Islam.

Para psikolog modern belakangan menyadari pentingnya nama dalam pembentukan konsep diri. Secara tak sadar orang akan didorong untuk memenuhi citra  (image, gambaran) yang terkandung dalam namanya.

Teori labelling (penamaan) menjelaskan kemungkinan seorang menjadi jahat karena masyarakat menamainya sebagai penjahat. Berilah gelar “JOROK” kepada anak anda, dan seumur hidup anak itu akan menjadi orang yang jorok. Gelarilah ia “Si Pemurah” dan ia besar kemungkinan akan berusaha selalu pemurah.

Memang boleh jadi orang akan berperilaku yang bertentangan dengan namanya. Taufiq mungkin menjadi penjahat, tetapi nama itu akan meresahkan batinnya. Ia boleh jadi mengubah namanya, atau mengubah perilakunya.

Walhasil, anak anda akan menggugat anda pada hari akherat (dan boleh jadi di dunia ini juga) bila nama yang anda berikan membawa petaka dalam kehidupannya. “Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti,” kata Rasulullah. (HR.Abu Dawud dan Ibnu Hiban)

MENDAPAT KASIH SAYANG

“Bukan termasuk umatku orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang kecil,” kata Nabi Muhammad Saw.

Nabi mengecam pemuka Arab yang tidak pernah mencium anaknya dan mengatakan bahwa cinta telah tercerabut dari jantungnya. Dia juga berkata, “Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang paling penyayang terhadap keluarganya; dan aku adalah orang yang paling sayang kepada keluargaku.”

Kasih sayang tidak boleh disimpan saja didalam hati. Kasih sayang harus dikomunikasikan, karena itu Nabi mengungkapkan kasih sayangnya tidak saja secara verbal (dengan kata-kata), tetapi juga dengan perbuatan. Ketika dia berkhutbah, dia melihat Hasan dan Husayn berlari dengan pakaian yang menarik perhatian. Dia turun dari mimbarnya, mengangkat mereka, dan meneruskan khutbah dengan kedua anak itu dalam pangkuannya. Dia berkata, “Mereka adalah penghulu para remaja di surga.” Ketika bersujud, dia memanjangkan sujudnya hanya karena tidak ingin mengganggu Hasan dan Husayn  yang berada di atas punggungnya.

Pada suatu hari Umar menemukan Nabi merangkak di atas tanah, sementara dua orang anak kecil berada di atas punggungnya, Umar berkata, “Hai anak, alangkah indahnya tungganganmu itu.” Yang ditunggangi menjawab, “Alangkah indahnya para penunggangnya!” Suasana seperti ini menunjukkan keakraban Nabi dengan cucu-cucunya. Dia mencintai mereka dan dengan jelas mengungkapkan kecintaan itu.

Ketika Mu’awiyah berlaku kasar terhadap anaknya, Al-Ahnaf memberikan nasehat kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, anak-anak itu buah hati kita, tonggak kehidupan kita. Kita langit yang melindungi mereka dan bumi tempat mereka berpijak. Jika mereka marah, senangilah mereka. Jika mereka meminta sesuatu, berilah. Jangan memperlakukan mereka dengan kasar; nanti mereka menghindari keberadaanmu dan mengharapkan kematianmu.”

Banyak diantara kita secara fitri menyayangi anak-anak kita, tetapi sering kali kasih sayang itu tersembunyi. Anak-anak baru mengenal kecintaan orang tua mereka justru ketika orang tua itu sudah meninggal dunia.  Seringkali kita tidak mampu mengkomunikasikan kecintaan kita. Untuk pertumbuhan kejiwaan mereka yang sehat, mereka memerlukan siraman cinta orang tua mereka.

Apa yang terjadi bila anak kekurangan atau tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya? Sebelum menjawab petanyaan itu secara psikologis dan sebelum kita menghayati perintah Islam untuk mengungkapkan kasih sayang ini, marilah kita simak puisi:

Anak-Anak Belajar Dari Kehidupannya
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemohan, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan  dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

“Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan; ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”

Nabi Muhammad saw, ketika ditegur orang mengapa mencium putranya, berkata: “Man la yarham la yurham (siapa yang tak menyayangi, ia tak akan disayangi).” Bila orang tua gagal mengungkapkan rasa sayang kepada anak-anaknya, mereka tak akan mampu mencintai orang tua mereka. Dalam pergaulan sosial, mereka pun tak akan mampu mencintai atau menyayangi orang lain.

Ada seorang mencoba membuat penelitian dengan memisahkan anak-anak monyet dari ibunya. Kemudian, dia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan; selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri, dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh kepada anak-anaknya, dan seringkali melukai mereka.

Para psikolog menyebut situasi tanpa ibu itu sebagai “maternal deprivation”. Tentu saja kita tidak dapat melakukan eksperimen yang sama kepada manusia. Tetapi para peneliti menemukan gejala yang sama pada perilaku anak-anak manusia yang mengalami maternal deprivation pada awal kehidupan mereka.

Pada manusia, pemisahan anak dari orang tua itu dapat secara fisik (misalnya, karena perceraian atau orang tuanya meninggal) dan dapat juga secara psikologis (yakni, ia tidak terpisah dari orang tuanya secara fisik, tetapi ia tidak mendapat kasih sayang yang memadai). Yang kedua biasanya disebut sebagai “deprivasi terselubung.” Deprivasi terselubung ini dapat terjadi, misalnya, kedua orang tua (ayah dan ibu) bekerja dan pulang pada sore hari dalam keadaan lelah. Mereka tak sempat bercanda dengan anak-anak mereka, atau berkumpul mengobrol dengan hangat, atau memeluk dan mencium mereka dalam keakraban. Anak-anak yang mengalami deprivasi ternyata cenderung menderita kecemasan, rasa tidak tenteram, rendah diri, kesepian, agresivitas, cenderung melawan orang tua, dan pertumbuhan kepribadian yang lambat.

Kekurangan kasih sayang menghambat aktualisasi potensi kecerdasan yang dimilikinya, sehingga anak menjadi sukar belajar. Seperti juga pada monyet (yang secara biologis satu keluarga dengan kita), anak-anak yang kekurangan kasih sayang cenderung berkembang menjadi bapak atau ibu yang tidak mampu menyayangi anak-anaknya.

Seorang psikologi menyebut kekurangan kasih sayang sebagai penyakit menular. Karena itu, Islam sebagai agama yang membawa misi “Rahmatan Lil ‘Alamin” (menyebarkan kasih sayang ke seluruh alam), mewajibkan orang tua untuk mengekspresikan kasih sayang mereka kepada keluarganya.

“Orang yang paling baik diantara kamu ialah yang paling penyayang kepada keluarganya,” kata Rasulillah Saw, sekali lagi. Dalam al-Quran memelihara kasih sayang dalam keluarga adalah perintah kedua setelah takwa; “Bertaqwalah kamu kepada Allah, tempat kamu saling bermohon, dan peliharalah kasih sayang dalam keluarga.” (QS.4:1)

Kasih sayang adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tuanya. Mengkomunikasikan kasih sayang kepada anak-anak kita itu perlu. Pikiran seorang anak, demikian pula fisiknya, memerlukan bantuan untuk pertumbuhannya. Ada tiga macam “makanan” yang penting untuk pertumbuhan pikirannya yaitu bahasa, bermain, dan kasih sayang.

Sejak bulan pertama kehidupannya, seorang anak perlu diajak bercakap-cakap, didekap, dan diasuh dengan penuh kasih sayang, diberi senyuman, didengarkan dan dirangsang untuk memberikan reaksi dengan bunyi-bunyian atau gerakan.

Mereka perlu sentuhan, teman bicara, teman tertawa, memberikan respon dan menerima respon. Kurangnya perhatian akan membuat mereka tidak bahagia. Anak yang kurang perhatian akan kehilangan semangat hidup, kehilangan selera makan, sehingga pikiran dan badannya tidak tumbuh dengan baik.

Anak-anak belajar dengan melakukan banyak hal. Dengan demikian dalam masa pertumbuhannya, mereka perlu kebebasan untuk mencari dan bermain. Bermain-main bukanlah kegiatan yang tidak berarti, tetapi sangat penting untuk pertumbuhan anak dan dapat membantu mengembangkan mental, sosial, dan keterampilan fisiknya, termasuk berbicara dan berjalan. Bermain dapat merangsang rasa ingin tahu, kecakapan, serta percaya diri seorang anak. Bermain juga merupakan landasan sebagai dasar untuk mampu melakukan pekerjaan sekolahnya, mempelajari beberapa keterampilan yang perlu untuk kehidupannya di kemudian hari.

Bermain tidak selalu berarti menyelesaikan masalah atau mencapai apa yang direncanakan oleh orang tua. Permainan anak-anak itu sendiri sangatlah penting. Merangsang anak-anak bermain dengan menyediakan barang-barang dan bermacam ide serta bahan adalah cara yang baik untuk membesarkan anak.

Alat permainan tidak selalu harus mahal. Dus-dus kosong atau alat rumah tangga sama manfaatnya dengan mainan-mainan yang mahal. Permainan yang imajinatif, misalnya, yang dapat berperan sebagai orang tua, sangatlah baik untuk perkembangan anak.

Anak perlu bantuan untuk mengembangkan daya cipta, mereka perlu tantangan untuk dapat memecahkan masalah dan memutuskan apa yang terbaik. Anak perlu menyatakan keinginannya dan keputusannya dan melihat apa yang akan terjadi.

Bernyanyi dan belajar irama menggambar, membaca cerita dengan suara keras dapat membantu perkembangan pikiran anak dan mempersiapkan anak untuk belajar menulis dan membaca. “Agar dapat tumbuh sehat, semua anak harus diberi pujian dan sanjungan atas semua hasil karyanya.”

Ketika Rasulullah menggelari putrinya “Ummu Abiha” (ibu yang merawat ayahnya), dia memberikan sanjungan atas perkhidmatan Fathimah.

Ketika Nabi bermain dengan Hasan dan Husayn, dia sedang memberikan contoh permainan yang imajinatif. Ketika dia memeluk Hasan dan Husayn sambil berkata “Ya Allah, aku mencintai mereka,” dan ketika ia mencium Fathimah seraya berkata, “Bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah,” dia sedang mengkomunikasikan kasih sayangnya.

Lima belas abad sesudah itu, banyak orang membenarkan Sunnah Rasulullah itu. Semua orang dapat didukung untuk: melakukan apa saja, dan tidak terkecuali anak-anak. Secara istilah, tindakan mendukung itu adalah kata halus dari peneguhan positif.

Peneguhan yang paling berarti untuk manusia, terutama anak-anak, adalah peneguh sosial. Hal ini biasanya berbentuk pujian atau boleh juga apa saja yang mengungkapkan perhatian, senyuman, lirikan, pelukan, kecupan, dekapan, perhatian yang mendalam, dan mendengarkan yang baik.

Masalah utama orang tua ialah ketika mereka harus bergaul dengan anak-anaknya pada saat mereka kurang menyukainya. Tetapi seperti kata orang “itulah kehidupan.” Bila ayah pulang larut malam, ia lelah. Bila ibupun pulang, ia kecapaian. Dan mereka harus melakukan banyak hal, bekerja sebagai panitia, menjalankan fungsi sosial, dan lain-lain.

Lalu apa yang sebaiknya mereka lakukan?

“Manfatkanlah waktu yang ada, Pertama, janganlah mempunyai anak bila anda tidak punya waktu untuk mereka. Kedua, jika anda punya waktu, perhatikanlah waktu itu dengan serius. Inilah waktu   untuk saling memahami, untuk mendukung perilaku kecil yang anda setujui dari tingkah laku anak-anak anda. Jauh lebih baik lagi bila anda memberikan dukungan itu segera ketika hal-hal kecil itu terjadi.

PENUTUP

Kita baru saja menunjukkan dua hak anak terhadap orang tuanya; pemberian nama yang baik dan kasih sayang. Dari hadits-hadits Nabi, kita tahu bahwa anak juga berhak mendapat makanan, pakaian, olah raga yang membantu pertumbuhan fisiknya, pendidikan yang baik untuk membantu perekonomian jiwanya, dan bimbingan agama untuk menyucikan ruhaninya. Tidak cukup ruang untuk membicarakan semua hak itu disini.

Cukuplah kita mengunci tulisan ini dengan ucapan Ali bin Abi Thalib : “Wahai manusia, seseorang tidak dapat melepaskan dirinya dari anak-anaknya, walaupun ia mempunyai kekayaan. Ia harus membela mereka dengan tangan dan lidahnya. Merekalah yang paling penting untuk diperhatikan dan paling utama untuk didukung, dan paling patut disayangi ketika musibah menimpa mereka ….

…. Janganlah orang berpaling dari keluarganya yang harus ia lepaskan dari kesusahannya dengan sesuatu yang tidak akan menambahnya jika ia menahannya, tidak akan menguranginya jika ia memberikannya. Jika kamu menahan tanganmu dari anak-anakmu, mereka hanya kehilangan satu tangan, tetapi kamu kehilangan tangan yang banyak. Siapa yang dicintai keluarganya ia akan dicintai kaumnya.”  (Nahj Al-Balaghah, Khutbah ke-23)  []

Wallahu a’lam!

Wassalam…

Hamas: Allah Kirim Malaikatnya untuk Melawan Israel


Thursday, 31 July 2014, 05:00 WIB
Reuters
Pejuang Hamas.
Pejuang Hamas

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA — Sayap militer Hamas, Brigade Izzudin el Qassam hingga Rabu (30/7) telah berhasil membunuh 110 tentara Israel. Salah satu aksi Al Qassam terjadi pada Hari Raya Idul Fitri, Senin (28/7) lalu. Ketika itu, pasukan elit Al Qassam berhasil membunuh 10 tentara Israel di wilayah Nahal Oz, Israel. Operasi militer lainnya terjadi di Khan Younis, Gaza Selatan, di hari yang sama. Mereka berhasil membunuh dan melukai 30 prajurit Israel.

Meski demikian, sumber Hamas mengungkapkan, aksi tersebut terjadi bukan karena kuatnya Al Qassam. Mereka percaya bisa membalas pembantaian Israel karena pertolongan Allah.

“Kami percaya Allah mengirim malaikatnya di setiap aksi para pejuang melawan penjajah zionis,”ujar sumber Hamas yang tak mau disebutkan namanya.

Aksi militer Al Qassam berhasil menewaskan prajurit dan kapten pasukan zionis. Tak hanya itu, tank dan drone milik Israel mampu dihancurkan oleh Hamas. Setidaknya, terdapat dua tank yang dihancurkan oleh pejuang Hamas.

Menteri Pertahanan Israel Ya’alon mengaku mengalami kesulitan untuk melawan Hamas. Mereka pun menegaskan, akan terus melakukan operasi militer di Gaza dan tidak akan menerima kesepakatan apa pun selama tak ada jaminan keamanan dari warga Israel.

Dia pun mengakui, Israel telah kehilangan putra terbaiknya di tangan Hamas. Dia juga mengaku akan memerintahkan tentara zionis untuk memperdalam operasi melawan gerakan Islam tersebut.