Allahumma shalli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad
(Ya Allah, sampaikanlah salawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad)
Milad an-Nabi atau Maulid adalah peringatan kelahiran Nabi kecintaan kita Muhammad saw dan dirayakan oleh kaum Muslim sebagai Idul Milad. Nabi Muhammad saw dilahirkan di Semenanjung Arabia di kota Mekkah, pada 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan Senin, 20 April 571. Untuk tahun 2002, Maulid Nabi jatuh pada tanggal 25 Mei, hari Sabtu. Sementara, tahun sebelumnya, Maulid Nabi saw jatuh pada 4 Juni, hari Senin. Ini pun merupakan tanggal wafatnya beliau (dalam kepercayaan Sunni—penerj.)
Peristiwa ini dirayakan dengan mengingat karunia-karunia yang dilimpahkan pada umat. Pertama, wahyu al-Quran dengan perintah-perintahnya; kedua, pelembagaan dari seorang Pemandu abadi yang akan menasehati orang-orang mukmin menurut kebutuhan zaman. Ini mengapa golongan Isma’iliyah disebut Ibn al-Waqt (anak zaman) karena mereka dibimbing oleh Imam Zaman, Noor Mowlana Shah Karim al-Husaini Hazar Imam, Yang Mulia Agha Khan. Dia adalah keturnan ke-49 dari putri Nabi saw, Fathimah dan Imam Ali. Bagi golongan Syi’ah, peristiwa ini adalah lebih bermakna dan penuh perlambang karena hari ini pun merupakan peringatan hari kewafatan beliau setiap tahunnya. Karena itu, hari tersebut mendukung hablullah (tali imamah) ketika Nabi Muhammad saw telah memilih Ali sebagai penggantinya di Ghadir Khum.
Apa yang ingin saya katakan adalah bahwa hal ini lebih daripada sebuah kebetulan. Kelahiran Nabi Muhammad saw berbarengan dengan kepergian jasmaninya sebagaimana ditetapkan oleh Allah. Imam Ali mewarisi otoritas spiritual darinya dan rantai ini terus berlanjut hingga hari ini. Di setiap jomma (kurun imamah), imam sebelumnya menunjuk imam penggantinya atau imam berikutnya. Dan, sekalipun imam sebelumnya wafat secara fisik, yang merupakan hari duka cita, umat bahagia dengan penetapan imam baru karena Perjanjian tersebut (janji cahaya Allah) terus berlangsung.
Berkaitan dengan ini, Mowlana Sultan Mahomed Shah berkata dalam salah satu khotbahnya:
Kami (para imam) mengubah tubuh fisik di dunia tetapi Nur kami (Cahaya Ilahi) adalah abadi dan berasal dari mahaawal. Karena itu, kalian harus menjadikannya sebagai satu Cahaya. Nur (cahaya Allah) senantiasa hadir, hanya saja nama-namanya yang berbeda. Arasy Imamah Mowlana Murtadha Ali terus berlanjut dan akan tetap ada hingga Hari Kiamat (Sumber: ‘Ilm, vol.3, No.2, November 1977 hal.22)
Idul Milad dan Idul Ghadir adalah dua hari besar yang sangat penting bagi kalangan Muslim Syi’ah. Pada hari ini setiap tahun, orang-orang beriman berkumpul untuk membacakan doa-doa khusus untuk bersyukur kepada Allah karena mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi semua manusia, dan pembicaraan serta kuliah-kuliah disampaikan mengenai sirah (kehidupan) dan perintah-perintah Nabi saw. Puisi dalam bentuk naat dibacakan dan usai salat dan doa, manisan dibagikan dan parfum dipercikkan kepada setiap orang. Kaum perempuan dan anak-anak berkumpul selama penggunaan henna (pacar) dan setiap orang mengenakan busana indah selama kesempatan tersebut. Anak-anak mendapatkan uang ataupun hadiah dan di Afrika Timur kami biasa pergi ke suatu fete, Eid Mela diorganisasikan pada kesempatan tersebut oleh para anggota komunitas dan kami bisa menaiki ayunan (?) yang di atasnya kami merasa senang seperti anak-anak.
Di negeri-negeri Muslim yang padat populasinya, perayaan Maulid berlangsung selama dua belas hari pertama di bulan yang disebut Barah Wafah (dua belas hari sebelum berlalu) dan setiap hari ada konferensi-konferensi dan pertemuan-pertemuan.
Nabi kecintaan kita memberikan kepada umat manusia suatu teladan sempurna dalam semua tahapan kehidupan. Al-Quran suci mengatakan, Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS 33:21)
Nabi Muhammad saw hidup di tengah-tengah umatnya dan mengajari mereka tentang keimanan kepada satu Tuhan, akhlak dalam kehidupan sehar-hari, dan arti penting pendidikan dalam membawa suatu kehidupan yang sempurna. Dalam hal ini, ada sejumlah sabdanya yang termasyhur seperti, “Carilah ilmu hingga ke negeri Cina”, “tuntutlah ilmu karena barangsiapa yang menuntutnya, berarti melakukan amal saleh; barangsiapa membicara ilmu, berarti memuji Allah; barangsiapa yang mencarinya, berarti menyembah Allah.” Beliau juga mengatakan, “Tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada.”
Mowlana Sultan Mahomed Shah menekankan pesan Nabi Muhammad saw tersebut dan menandaskan bahwa Islam pada dasarnya berwatak dinamis dan tidak kaku. Pada saat yang sama, keimanan spiritual harus berkembang seiring dengan pertumbuhan kekayaan materi. Dalam Message to the World of Islam, ia berkata:
Formalisme dan tafsiran verbal atas ajaran Nabi secara mutlak berlawanan dengan seluruh sejarah hidupnya. Kita harus menerima risalah sucinya sebagai kanal penyatuan kita dengan Yang Mutlak dan Yang Tak Terbatas dan ketika keimanan spiritual kita tertegakkan secara kuat, tanpa takut teruskanlah dengan pengorbanan diri, dengan keberanian dan dengan aplikasi untuk memajukan posisi ilmiah, ekonomi, politik, dan sosial kaum Muslim ke suatu kedudukan yang setara dengan Eropa dan Amerika Kristen.
Kebiasaan sosial kita, aktivitas kita sehari-hari, usaha kita yang tak kenal lelah, harus ditingkatkan, harus diharmoniskan dengan bentuk tertinggi dari peradaban yang mungkin. Pada periode terbesarnya Islam adalah pusat sains, pusat pengetahuan, dan pusat kemajuan di bidang pemikiran politik, filosofis, dan sastra.
Mowlana Hazar Imam menyarankan kepada Dunia Muslim, dalam the Seerat Conference, untuk menjadikan kehidupan Nabi sebagai mercu suar untuk mencapai masyarat Islam yang modern dan dinamis dalam pengertian sejatinya. Ia mengatakan:
Kehidupan Nabi saw memberi kita panduan fundamental yang kita butuhkan untuk mengatasi masalah seberhasil mungkin sebagaimana yang bisa dibayangkan oleh pikiran dan intelek manusia. Teladannya akan integritas, kesetiaan, kejujuran, kemurahhatian, entah berupa sarana-sarana dan waktu yang ia sediakan bagi orang miskin, lemah, sakit, ketabahannya dalam persahabatan, kerendahhatiannya dalam persahabatan, keagungannya dalam kemenangan, kebersahajaannya, kebijaksanaannya dalam menciptakan solusi-solusi baru atas masalah-masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh metode-metode tradisional, tanpa mempengaruhi konsep-konsep fundamental Islam, secara pasti, semua fondasi ini yang dipahami dengan benar dan ditafsirkan secara tulus, mestinya memudahkan kita untuk menggambarkan apa yang seharusnya menjadi sebuah masyarakat Islam modern dan dinamis yang hakiki pada tahun-tahun mendatang
Kehidupan dan pencapaian-pencapaiannya sungguh luar biasa dan ekspansif yang saya tak mampu menggambarkannya dalam tulisan yang singkat ini dan karena alasan ini, saya mendorong kalian untuk membaca dengan cermat baris-baris kalimat di bawah sebagai bahan kajian lebih lanjut.
Pasase-pasase berikut telah dsiapkan oleh teman baik saya, Courtney Kirshner, yang membesarkan hati saya untuk mendapatkan artikel ini sekalipun saya ketinggalan tenggat waktu maulid tersebut pada tahun ini. Pasase-pasase tersebut diambil dari Mystical Dimensions of Islam karya Annemarie Schimmel.
Sejak awal penghujung abad ke-11, dan secara umum dari abad ke-12 seterusnya, pengagungan atas Nabi mengasumsikan suatu bentuk yang mungkin dalam perayaan maulid, hari kelahirannya, pada 12 Rabiul Awal, bulan ketiga dalam penanggalam kamariah kaum Muslim. Hari ini masih dirayakan di Dunia Muslim. Banyak syair ditulis selama peristiwa ini dalam seluruh bahasa Islam yang di luar hitungan. Dari ujung paling timur Dunia Muslim hingga ujung Barat maulid merupakan peristiwa luar biasa bagi orang-orang saleh untuk menunjukkan kehangatan cinta mereka kepada Nabi dalam bentuk lagu-lagu, syair-syair, dan doa-doa.” (halaman 216)
Sementara, teks berikut diambil dari buku Schimmel lain, And Muhammad is His Messenger yang keseluruhan babnya tercurah pada topik ini!
Tampak, kecenderungan untuk merayakan ingatan akan kelahiran Muhammad pada skala yang lebih luas dan bahagia muncul untuk pertama kalianya pada masa Fathimiyah di Mesir (969-1171). Ini masuk akal karena Dinasti Fathimiyah mengklaim sebagai keturunan Nabi melalui putrinya Fathimah. Sejarahwan Mesir Maqrizi (w. 1442) mendasarkan laporannya pada sumber-sumber Fathimiyah. Ini merupakan satu peristiwa yang didukung oleh sebagian besar ulama dan lembaga-lembaga keagamaan. Mereka mendengarkan ceramah-ceramah, manisan, khususnya madu, makanan favorit Nabi, dibagi-bagikan; orang-orang miskin menerima sedekah.” (halaman 145)
Sumber-sumber Arab awal—yang mendasarkan klaim-klaim mereka pada gelar-gelar Qurani seperti sirajun munir, dian yang bersinar—mengatakan bahwa sebuah sinar memancar dari rahim Aminah bersama kedatangan nabi yang baru lahir. Hasan bin Tsabit [penyair, sejawat Muhammad yang bergabung dengannya di Madinah dan melaporkan peristiwa-peristiwa penting di komunitas Muslim] melantunkan dalam eleginya untuk Muhammad bahwa ibunya Aminah telah melahirkannya di jam yang bahagia di mana selanjutnya “seberkas cahaya menyinari dunia.”
Tidaklah mengherankan bahwa cahaya spiritual ini segera dibungkus realitas material dalam riwayat-riwayat kelahiran Nabi, sebagaimana bisa dilihat untuk pertama kalinya di dalam karya tarikh Ibn Sa’d pada abad ke-9. Yunus Emre [penyair Sunni Turki, wafat pada 1321] melantunkan sejumlah syair dalam suksesinya di Turki, Iran, dan India:
Dunia diliputi dengan cahaya
Di malam kelahiran Muhammad (hal.149-1500
“Karya komprehensif pertama tentang kelahiran Nabi, sejauh yang orang ketahui, disusun oleh penulis Andalusia (Spanyol) Ibn Dihya, yang berperan serta dalam maulid di Arbela pada 1207. Digubah dengan gaya prosa dengan suatu economium puitis, karyanya memiliki karakteristik dengan judul Kitab at-Tanwir fi Maulid as-Siraj al-Munir (Buku Pencerahan tentang Kelahiran Dian yang Bersinar), yang di dalamnya cahaya-mistisisme diasosiasikan dengan Muhammad begitu jelas. Dua pengikut Hambali, Ibn al-Jauzi, dan satu setengah abad kemudian, Ibn Katsir, menuliskan risalah-risalah tentang maulid. Karya-karya puitis tentang peristiwa penting ini juga digubah secara relatif lebih awal.” (hal.152)
“Ibn al-Jawzi, tanpa syak lagi, seorang teolog Hambaliyah yang serius dan kritis dan bukan seorang penyair mistis, menulis dalam buku maulid-nya, yang merupakan jenis pertama dari karya ini:
Ketika Muhammad lahir, para malaikat berseru dengan suara riuh rendah. Jibril datang dengan berita gembira dan Arasy berguncang. Bidadari-bidadari keluar dari kastil-kastil mereka dan wewangian pun menyebar. Ridhwan, penjaga surga, disapa: “Agungkanlah surga tertinggi, angkatlah tirai dari surga, kirimlah serombongan burung dari burung-burung surga Adn ke tempat kediaman Aminah sehingga mereka bisa melemparkan mutiara dari setiap mulut mereka,” dan ketika Muhammad lahir, Aminah melihat cahaya, yang menyinari istana Bostra. Para malaikat mengelilinginya dan merentangkan sayap mereka. Barisan malaikat mengidungkan pujian, turun, dan memenuhi bukit dan lembah.” (hal.150)
“Adalah penting untuk mengingat bahwa Muhammad lahir suci dari segala kekotoran jasadi.” (hal. 152)
“Keyakinan bahwa sebuah maulud [kidung kelahiran Nabi] memiliki kekuatan rahmat tidak khusus untuk Muslim Turki. Keberkahannya dikenal di mana-mana di dunia Muslim… Dari Abad Pertengahan hingga seterusnya dipercaya bahwa pembacaan maulud akan memberi ganjaran duniawi maupun ukhrawi kepada para pendengar.