Oleh : K.H. Mustafa Bisyri (Gus Mus)
Rasulullah saw bersabda, “Man shaama ramadhaana imaanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi. Waman qaama ramadhaana imaanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi. Waman qaama lailatal qadr imaanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi.” (Barang siapa berpuasa pada bulan ramadhan atas dasar iman dan semata-mata mencari keridhaan Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang sudah lalu. Dan barang siapa jungkung beribadah pada bulan ramadhan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang sudah lalu. Dan barangsiapa jungkung beribadah di malam qadar, maka akan diampuni dosanya yang sudah lalu). Dan saya mendengar dalam riwayat lain ada tambahan wama taakhara, dan dosanya yang datang kemudian.
Yang perlu kita perhatikan benar adalah qayyid, catatan, motivsi puasa dan jungkung dalam hadis tersebut, yaitu imanan wahtisaban, yaitukarena atau atas dasar iman dan semata-mata ingin mendapatkan ridho dan pahala dari Allah.
Orang mukmin yang berpuasa dan jungkung di bulan ramadhan atas dasar yang demikian itulah yang diharapkan dapat benar-benar bertakwa kepada Allah. Bukankah takwa, sebagaimana difirmankan oleh Allah, merupakan tujuan akhir puasa (Q.S. al-Baqarah : 183). Nalarnya, bahwa orang mukmin yang berpuasa atas dasar demikian itu, artinya benar-benar berpuasa sesuai tuntunan Allah yang mewajibkannya, tentu tidak hanya mendapatkan sekadar lapar dan haus. Orang yang berpuasa pada siang hari dan jungkung pada malam harinya hanya semata-mata karena Allah, akan menjumpai dirinya utuh sebagai hamba Allah yang menyadari sepenuhnya bahwa nasibnya kemarin, sekarang, dan di kemudian hari ada dalam genggaman-Nya.
Saat seseorang yang berpuasa lapar dan ingin makan atau haus dan ingin minum, misalnya, lalu makan dan tidak minum padahal ada makanan dan minuman dalam jangkauannya, apa sih yang terlintas di benaknya? Ia ingat Allah yang mewajibkan puasa tentunya.
Padahal makanan dan minuman itu aslinya merupakan sesuatu yang halal dan diperkenankan. Apakah mungkin bagi mukmin yang waras : Terhadap hal-hal yang halal dan diperkenankan saja mau meninggalkannya, sementara terhadap hal-hal yang diharamkan malah mengerjakannya?
Nah, mukmin yang waras dan tidak rancu cara berpikirnya, berpuasa tentu mempunyai pengaruh yang luar biasa terhadap dirinya. “latihan” sebulan kiranya cukup baginya untuk membekali kesadaran—minimal setahun, sampai datang saat “latihan kembali—akan “kehadiran” Allah dalam kehidupannya.
Tidak saat ingin makan dan minum saja dia teringat Allah, tapi juga dalam setiap akan—bahkan ketika dan sesuadah—bergerak dan melangkah. Untuk kekhilafan yang belum terlanjur, dia akan berhati-hati. Untuk yang sudah terlanjur, dia akan beristighfar dan bertobat. Atttaibu min adz-dzanbi kaman la dzanbalah (Orang yang bertobat dari dosa sama saja dengan orang yang tidak berdosa).
Barangkali, ini cukup menjelaskan riwayat—wama taakhara—yang menyatakan orang yang berpuasa pada bulan ramadhan juga diampuni dosanya yang datang kemudian. Sedangkan untuk dosa-dosa kita yang sudah lalu, kita ber-husnuzzhan, berbaik sangka saja pada ibadah kita di bulan ramadhan, Allah telah mengampuninya. Ia sendiri melalui rasul-Nya kok yang menjamin!
Yang perlu diingat dan diwaspadai adalah dosa itu ada dua macam: dosa yang bersangkutan lagsung dengan Allah (dan ini relatif lebih mudah diharapkan ampunannya) serta dosa yang berkaitan dengan sesama manusia seperti mencaci, menyakiti, dan melalimi orang lain. Nah, yang terakhir ini, Allah baru akan mengampuni apabila yang bersangkutan memaafkannya. Inilah mungkin rahasia dan hikmahnya, kenapa pendahulu kita mentradisikan halal bihalal setelah ramadhan. Satu dan lain hal agar kedua macam dosa itu lebur semua di Hari Lebaran.
Jadi, karena kita tahu di samping dosa yang berkaitan langsung dengan Tuhan, masih ada lagi dosa yang berhubungan dengan sesama kita, hamba-hamba-Nya. Di mana pengampunan Tuhan terhadap dosa jenis ini tergantung pemaafan masing-masing kita yang bersangkutan. Artinya, apabila salah seorang di antara kita mempunyai kesalahan terhadap saudaranya, maka Allah tidak akan mengampuni kesalahan itu sebelum saudaranya tersebut memaafkannya terlebih dulu. Maka untuk menyempurnakan kefitrian kita sebagai manusia, polos sama sekali tanpa dosa, kita berupaya melebur juga dosa yang berhubungan dengan sesama kita. Dan ini hanya dapat diupayakan melalui saling memaafkan di antara kita.
Kita tahu, kita ini tidak sepemurah dan sepengampun Tuhan. Jauh sekali! Kepada Tuhan, kita tidak memerlukan macam-macam; asal kita minta ampun, langsung diampuni-Nya. Bahkan kadang-kadang tidak diminta pun, Allah berkenan mengampuni. Berbeda dengan kita yang—yang untuk memaafkan kesalahan—umumnya sulit sekali. Sering untuk itu diperlukan momentum yang tepat dan upaya-upaya lain segala.
Seandainya orang tahu betapa gawatnya suatu tanggungan kesalahan terhadap sesama manusia kelak di hari kemudian, tentu akan sangat hati-hati kita bersikap terhadap sesama. Jika pun terjadi kesalahan, jangankan sebingkisan parcel, harta sebesar apa pun pasti akan dikorbankan untuk mendapatkan maaf atas kesalahan tersebut. Sayang, kebanyakan orang tidak mengetahui atau tidak menyadarinya.
Jadi, menurut saya, yang paling penting pada saat-saat yang baik—bahkan mungkin momentum paling baik—ini, di samping bersyukur kepada Allah, adalah merebut kesempatan untuk memperoleh maaf lahir batin dari mereka yang pernah—atau kita duga pernah—kita sakiti dan lalimi. Kalau bisa hanya dengan kartu lebaran atau parcel ya syukur. Tapi kalau harus memerlukan berkunjung, berjabat tangan, bersalaman, dan bersilaturrahim, rasanya masih terlalu murah dan enteng untuk kita lakukan, daripada kesalahan atau dosa itu akan menjadi ganjalan kelak di hari kiamat. Ya, kan? Wallahu a’lam. (hd/liputanislam.com)
*K.H. Mustafa Bisri (Gus Mus) adalah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama. Tulisan ini disadur dari buku Bermain Politik di Bulan Ramadhan, Pustaka Adiba : Surabaya, 1998.