KEMULIAAN SHALAWAT


26/11/2014

Picture

Ustadz Miftah F. Rakhmat
Dewan Syura PP IJABI

Shalawat punya keistimewaan. Ia satu-satunya ibadah yang dicontohkan Tuhan  sebelum diperintahkan. Para ulama beragam pendapat mengenai arti shalawat Tuhan pada Nabi Saw. Ada yang berpendapat bahwa shalawat Tuhan pada Nabi Saw adalah penyucian. Karena itu, ketika kita bershalawat kita pun bergerak ke arah kesucian. (majulah-IJABI)


Dalam Bihar al-Anwar, seseorang bertanya pada Imam Ali as tentang empat hal,

”Apa itu wajib?”

Imam menjawab, ”Taat kepada (perintah) Allah.”

”Apa yang lebih wajib?”
”Meninggalkan dosa dan yang dilarang Allah.”

”Apa yang dekat?”
”Hari kiamat.”

”Dan apa yang lebih dekat?”
”Kematian.”

”Apa yang aneh?”
”Dunia.”

”Apa yang lebih aneh dari itu?”
”Para pecintanya.”

”Apa yang sulit?”
”Kuburan.”

”Apa yang lebih sulit dari itu?”
”Memasukinya tanpa persiapan.”

Dalam riwayat lain, pertanyaan keempat itu dijawab dengan ”Perjalanan, dan menempuhnya tanpa perbekalan.” Ada juga riwayat, ”Alam kubur, dan memasukinya dengan tangan kosong.”

Yang menarik adalah riwayat ketika jawaban itu diberikan Imam Ali as dalam syair yang indah,

Taubur rabbil warab waajibun ‘alaihim/
Wa tarkuhum lidz dzunuubi awjab(un)//

Wad dahru fii sharfihi ‘ajabun/
Wa ghiflatun naasi fiihi a’jab(un)//

Was shabru fin naa’ibaati sha’bun/
Laakin faututs tsawaabi as’ab(un)//

Wa kullama yurtajaa qariibun/
Wal mawtu min kulli dzaaka aqrab(un)//

Kalimat Imam, indah, singkat, namun dalam maknanya dan saling memperkaya satu dengan yang lainnya. Berikut terjemahan untuk syair Imam Ali as.

Bertaubat pada Tuhan wajib bagi mereka dalam ketaatan/ Dan menjauhkan diri dari dosa di atas kewajiban//

Dan waktu dalam menjalaninya sangat mengherankan/ Terlebih lagi mereka yang lupa dan terlenakan//

Dan sulit bersabar dalam penderitaan/ tapi kehilangan pahala karena kesabaran jauh lebih merugikan//

Dan dekatlah setiap yang diharapkan/ tapi yang lebih dekat dari semuanya adalah kematian//

Menurut Imam Ali as, taubat wajib. Tapi lebih wajib lagi berusaha meninggalkan dan menjauhkan diri dari dosa. Dunia ini aneh, ajaib, mengherankan. Lebih aneh lagi orang yang lalai dan terlena di dalamnya. Lalu, yang disebut kesulitan adalah ketika kita menghadapi musibah. Tapi akan lebih menyulitkan lagi, akan lebih menyakitkan lagi tatkala kita kehilangan pahala karena tidak bersabar menghadapinya. Dan yang terakhir, manusia merasa dekat dengan harapan-harapan dan keinginannya. Padahal yang lebih dekat dari segala sesuatu adalah kematian.

Hadis dalam Bihar al-Anwar 75:89 itu menunjukkan pada kita keutamaan Imam Ali as sebagai pintu kota ilmu Rasulullah Saw. Menurut Imam Ali, Baginda Nabi mengajari seribu pintu. Dan untuk seribu pintu, terbuka seribu pintu berikutnya. Mungkin metaforis, tetapi ia mengajak kita untuk merenung tentang perjalanan singkat di dunia ini. Perjalanan yang memerlukan ilmu agar mengetahui prioritas memanfaatkannya.

Ada hadis qudsi, dialog antara Allah Ta’ala dan Rasulullah Saw. Sebuah kitab ”Kalimatullah” bahkan mengumpulkan percakapan wahyu antara para nabi dan Allah Ta’ala. Antara lain ada yang berbunyi seperti ini.

Tuhan bertanya, ”Untuk dan kepunyaan siapakah langit dan bumi?”

Nabi Saw, ”UntukMu dan milikMu Ya Rabb.”

”Perahu dan lautan, untuk siapakah?”
”UntukMu jua Ya Rabb.”

”Surga dan neraka?”
”UntukMu dan milikMu ya Rabb…”

”Lalu, Aku…untuk siapakah?”

Bersujudlah Nabi Saw mendengar ini. Baginda menjawab, ”Engkau jauh lebih mengetahuinya Ya Rabb…”

Suara kudus pun bergema, ”Aku…bagi dia yang bershalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”

Shalawat memang punya keistimewaan. Ia menjadi satu-satunya ibadah yang dicontohkan Tuhan  sebelum diperintahkan. Para ulama beragam pendapat mengenai arti shalawat Tuhan pada Nabi Saw. Ada yang berpendapat bahwa shalawat Tuhan pada Nabi Saw adalah penyucian. Karena itu, ketika kita bershalawat kita pun bergerak ke arah kesucian. Shalawat juga mengajarkan pada kita untuk patuh, cinta, taat penuh seluruh, pasrah seutuhnya pada seorang hamba pilihan Tuhan, kekasihNya, cahaya terangNya di tengah-tengah manusia, perwujudan rahmatNya untuk alam semesta. Ayat Surat Al-Ahzab 56 yang menggunakan bentuk ”taslim” setelah perintah shalawat sering diterjemahkan: dan ucapkanlah salam. Padahal kata yang sama pada Al-Nisaa 65 diterjemahkan: ”menerima dengan sepenuhnya.” Shalawat karenanya membimbing kita untuk mendahulukan keinginan, perintah, kepentingan, dan keputusan Rasulullah Saw di atas segalanya.

Itulah mengapa, di mata air Khum, Nabi Saw berdiri dan bertanya, ”A lastu awla bikum? Bukankah aku lebih kalian utamakan, lebih kalian dahulukan (di atas yang lainnya)?” Dan serentak para sahabat menjawab, ”Balaa…Benar ya Rasulallah.” Kemudian Nabi Saw mengangkat tangan Ali. Aduhai, adakah cincin bertaut pada tangan-tangan suci itu? Dan Nabi Saw bersabda, ”Man kuntu mawla, fa ‘Aliyyun mawlaahu.” Siapa saja yang mengutamakan aku, hendaknya ia mengutamakan Ali juga.”

Setidaknya, ada tujuh faidah shalawat di dunia dan duabelas faidah di akhirat. Saya sarikan dari berbagai sumber dari hadis-hadis Baginda Nabi Saw dan keluarganya yang suci.

Faidah duniawi :

  1. Bersama 100 shalawat, Allah Ta’ala cukupkan 100 keperluan.
  2. Bershalawat dengan lantang, membantu mengikis kemunafikan.
  3. Shalawat adalah sarana untuk menyucikan amalan, menyempurnakannya, dan melengkapi kekurangannya.
  4. Bagi setiap shalawat yang dibaca, Allah Ta’ala taburkan kesejahteraan bersamanya.
  5. Membaca shalawat, menjauhkan kefakiran.
  6. Shalawat membantu mengingatkan perkara atau urusan yang dilupakan.
  7. Shalawat mengekang dan merendahkan musuh yang selalu dekat dengan manusia, yaitu godaan setan yang terkutuk.

Adapun duabelas faidah ukhrawi seperti berikut ini :

  1. Dari Imam Shadiq as, ”Barangsiapa bershalawat 10 kali, Allah Ta’ala bershalawat baginya 100 kali.” Ada juga yang menyebutkannya 1000 kali. Kata Imam Ja’far as, ”Barangsiapa yang Allah bershalawat untuknya 1000 kali, ia dijauhkan dari api dan siksa Tuhan. Dan bagi setiap sepuluh shalawat, ada sepuluh kebaikan. Dan bagi setiap sepuluh shalawat, ada sepuluh dosa yang diampunkan. Dan bagi sepuluh shalawat, ada sepuluh derajat yang ditinggikan. Ia termasuk penghuni surga.
  2. Makhluk yang paling layak dan paling dekat kedudukannya dengan Rasulullah Saw di hari kiamat adalah orang-orang yang paling banyak bershalawat untuknya di dunia.
  3. Di antara wasiat Nabi Saw pada Sayyidina Ali as, ”Siapa saja bershalawat kepadaku, wajib baginya syafaatku.”
  4. Dari Imam Ridha as, ”Bershalawat pada Nabi Saw di sisi Tuhan, setara dengan tasbih, tahlil, dan takbir.”
  5. Masih dari Imam Ridha as, ”Siapa saja yang kesulitan menebus kifarat dosa-dosanya, hendaknya memperbanyak bershalawat karena shalawat pada Nabi Saw dan keluarganya menggugurkan dosa-dosa.”
  6. Dari Imam Ali as, ”Shalawat lebih cepat menghapuskan dosa ketimbang air memadamkan api.”
  7. Bacaan shalawat di hari kiamat akan menjadi cahaya yang menemani manusia di depannya, belakang, kiri dan kanan, atas dan bawahnya.
  8. Barangsiapa membaca ”Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad” Allah Ta’ala anugerahkan baginya pahala 72 syuhada.
  9. Shalawat menerangi alam kubur dan memberatkan timbangan.
  10. Shalawat menjadi perisai yang menghalangi api neraka.
  11. Shalawat menghilangkan pahitnya kematian, dahsyatnya perpindahan, dan kehausan pada hari kebangkitan.
  12. Nah, untuk faidah yang keduabelas dijabarkan agak panjang berikut ini. Dari Imam Musa bin Ja’far as, ”Barangsiapa yang berdoa tanpa membukanya dengan pujian pada Allah dan shalawat pada Rasulullah Saw, bagaikan orang yang membentangkan busurnya tanpa anak panah.” Shalawat memang artinya doa. Dan doa adalah inti dari seluruh peribadatan. Shalawat juga bentuk jamak dari shalat. Shalawat dimaknai rahmat, ampunan, pujian, penyucian, dan anugerah kemuliaan. Ada juga yang mengotak-atik kata: shad dalam shalawat adalah ‘shamad’, laam-nya adalah ‘lathiif’, waw-nya adalah ‘wahid’, dan haa-nya adalah ‘haadi’. Semua dari nama-nama indah Tuhan.

Shalawat juga menyembuhkan, meringankan beban. Tapi shalawat juga menumbuhkan kerinduan. Kerinduan yang takkan terpenuhi, takkan terlepaskan hingga saat pertemuan nanti. Yaitu kerinduan dan kecintaan pada Rasulullah Saw dan keluarganya yang suci.

Jadi ada dua jenis shalawat. Yang pertama disebut shalawat buntung. Yaitu shalawat yang tak menyertakan keluarga Rasulullah Saw. Shalawat yang hanya berbunyi, ”Allahumma shalli ‘ala Muhammad” tanpa ”wa ali Muhammad.” Kata Baginda Nabi Saw, ”Shalawat yang terputus takkan mencium wewangian surga.” Dalam Ash-Shawaiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar meriwayatkan dari Ka’ab bin Ujrah tentang larangan Nabi Saw, ”Janganlah bershalawat kepadaku dengan shalawat yang terputus.”  Hadis dengan makna yang sama untuk menyertakan keluarga Nabi Saw diriwayatkan juga oleh Qurthubi dalam al-Jami’ li ahkaamil Qur’an, 14:233, Shahih Bukhari 6:12, Tafsir Ibnu Katsir 3:506, Al-Durr al-Mantsur 5:215, Al-Kabir Fakhrurrazi 25: 226 dan masih banyak lagi. Imam Syafi’i bahkan memasukkannya sebagai syarat sah shalat. Tidak diterima shalat kita kalau dalam tahiyyat, dalam tasyahhud tidak ada shalawat pada keluarga Rasulullah Saw.

Dari Imam Ja’far Shadiq as: Satu hari, Rasulullah Saw bersabda pada Imam Ali as, ”Wahai Ali, sudahkah engkau kuberi kabar gembira?”

”Ayah dan ibuku menjadi tebusan bagimu. Ya Rasulallah, engkau selalu menjadi kabar gembira bagiku.”

”Jibril baru saja mengabarkan padaku sesuatu yang istimewa.”
”Apakah gerangan itu Ya Rasulallah…?”

”Ia memberitahuku, siapa saja di antara umatku bershalawat kepadaku dan setelahnya pada keluargaku, Allah Ta’ala akan bukakan baginya pintu-pintu langit. Para malaikat membalas shalawatnya tujuhpuluh kali. Dan akan diampuni dosa-dosanya sebagaimana dedaunan yang berguguran dari batangnya.

Lalu Tuhan berkata kepadanya, ”Labbayka yaa ‘abdii wa sa’daik…labbaik wahai hambaKu dan berbahagialah.” Kemudian Allah Ta’ala berkata kepada para malaikat, ”Wahai malaikatku, kalian bershalawat untuknya 70 kali. Maka dariKu shalawat baginya 700 kali.” Tetapi–lanjut Baginda Nabi Saw–bila ia hanya bershalawat kepadaku dan tidak menyambungkannya dengan shalawat pada keluargaku, 70 pintu langit tertutup. Tuhan akan berkata, ”Tidak ada labbaik bagimu, tidak ada sa’daik bagimu. Wahai para malaikatKu, jangan bawa doanya naik, kecuali ia sambungkan shalawat pada nabiKu dengan shalawat untuk keluarganya.” Maka hamba yang mengucapkan ‘Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad’ terikat dalam kecintaan (hingga ia digabungkan, dipersatukan, bersamaku dan keluargaku.) Sebagaimana ia bershalawat kepadaku dan keluargaku.”

Shalawat yang lengkap itulah bentuk shalawat yang kedua. Shalawat kamil atau jami’. Shalawat yang menyertakan Nabi Saw dan keluarganya. Inilah makna berikutnya dari shalawat: kerinduan tak berkesudahan untuk Baginda dan keluarga sucinya. Maka ketika kita mendengar nama Baginda, lalu kita membaca, ”shallallahu ‘alaihi wa sallam, shalawat Allah baginya dan salam,” sudah lengkapkah shalawat kita? Bacalah, ”shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, salam shalawat Allah baginya dan keluarganya.”

Dan bukankah sekikir-kikirnya manusia, adalah ia yang disebut nama ”Muhammad” atau nama-nama Rasulullah Saw lainnya dan tak bershalawat kepadanya. Kikir di dunia, dan merugi di akhirat. Itulah kerugian yang sebenar-benarnya.

Shalawat menjadi wasilah mendekatkan diri pada keluarga Rasulullah Saw. Kecintaan pada keluarga Nabi menjadi wasilah kecintaan pada Rasulullah Saw. Dan kecintaan pada Rasulullah Saw menjadi wasilah untuk sampai pada ridho Tuhan. ”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. 5:35)

Di antara doa yang baik didawamkan adalah doa ini, ”Allahumma inni as’aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka wa hubba ‘amalin shalih yuqarribuni ilaa hubbika. Ya Allah, aku mohonkan padaMu cintaMu, dan cinta mereka yang mencintaiMu, dan cinta perbuatan baik yang mendekatkan kami pada cintaMu.” Mencintai para nabi, Rasulullah Saw dan keluarganya yang suci, para teladan saleh sepanjang sejarah adalah perwujudan dari ‘cinta mereka yang mencintaiMu.’ Kita pun bermohon agar diberi kecintaan pada perbuatan yang mendatangkan kecintaan Tuhan.

Yayasan Nukhbah Al-Fikr: makalah kesimpulan diskusi seputar deklarsi khilafah


Senin, 24 Muharram 1436 H / 17 November 2014 13:20

makalah-deklarasi-khilafah

makalah deklarasi khilafah (Adiba Hasan)

SURIAH (Arrahmah.com) – Bagi para perindu khilafah, deklarasi pendirian sebuah khilafah tentu menjadi penantian yang istimewa. Beragam reaksi luar biasa muncul ke permukaan saat deklarasi Daulah Al-Baghdadi atau dikenal sebagai ISIS terjadi.

Apa dan bagaimana pembahasan deklarasi khilafah secara detil, berikut Tim Arrahmah sampaikan hasil diskusi ilmiah yang disampaikan oleh Yayasan Nukhbah Al-Fikr dalam publikasi Muqawamah Media pada Ahad (16/11/2014).

بسم الله الرحمن الرحيم

YAYASAN NUKHBAH AL-FIKR

mempersembahkan :

“KESIMPULAN TERHADAP DISKUSI SEPUTAR DEKLARASI KHILAFAH”

Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Muhajir

– Hafizhahullah –

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam mudah-mudahan selalu tercurahkan kepada nabi kita Muhammad shalallahu’alayhi wasallam. Juga kepada keluarga dan semua sahabatnya. Amma ba’du:

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, fenomena deklarasi khilafah yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di ISIS disusul dengan lahirnya kekacauan, sikap membabi buta, dan tidak adanya kajian yang 100% syar’i, bebas dari fanatisme yang membutakan mata dari kebenaran dan tidak memecah belah barisan kaum muslimin.

Sebagaimana yang kita tahu, masalah khilafah adalah masalah syar’i. Oleh karena itu tidak ada ruang bagi perasaan, hawa nafsu, dan pandangan pribadi (untuk ikut menghukumi). Yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang tidak memiliki cukup ilmu yang mampu mengantarkannya kepada kebenaran adalah berhenti dari sikap fanatik dalam hal yang tidak dia ketahui. Sebagian orang saat ditanya tentang khilafah dari a-z seperti cara tegaknya khilafah menurut syariat, kewajiban-kewajiban Imam terhadap rakyat, kewajiban rakyat terhadap imam dan lain sebagainya mereka tidak tahu menahu sedikitpun tentang masalah tersebut. Meskipun demikian, anda bisa saksikan, mereka berbicara dan membuat keputusan-keputusan dalam persoalan yang untuk membahasnya dahulu Umar bin Khaththab radhiayallahu ‘anhu mengumpulkan orang-orang muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang masuk Islam saat perang fathu Makkah untuk meminta pendapat mereka dalam persoalan yang lebih kecil dibandingkan masalah khilafah.

Hendaknya setiap muslim sadar bahwa kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua kata yang dia ucapkan tanpa rasa takut kepada Allah dan setiap vonis yang dia lontarkan tidak semata-mata karena kebenaran. Seorang muslim juga harus sadar bahwa perasaan dan semangat bukanlah dalil yang melegitimasi dukungan atau penolakan terhadap deklarasi tersebut. Oleh karena itu hendaklah dia takut kepada Allah dan bersungguh-sungguh mencari kebenaran serta dalilnya tanpa sedikitpun terpengaruh oleh perasaan, latar belakang, dan hukum-hukum yang sebelumnya. Atau dengan kata lain hendaklah dia menyerahkan masalah-masalah ini kepada ahlinya kemudian mengikuti pandangan ulama umat yang jujur serta memiliki integritas dan otoritas. Allah berfirman: “Bertanyalah kepada ahlu dzikri jika kalian tidak mengetahui”.

Para ulama adalah orang-orang yang pandangan mereka diakui sebelum adanya fenomena ini. tidak sepatutnya kita menipu diri kita kemudian mencari-cari pandangan yang sesuai dengan hawa nafsu kita kemudian kita katakan: Saya mengikuti pandangan si fulan! Padahal sebelumnya dia tidak pernah melirik sedikitpun dan tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah pandangan yang benar. Bahkan ada kemungkinan orang yang dia akui tersebut tidak seratus persen sama akidah dan manhajnya.

Hendaklah dia sadar bahwa dia akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat jika tetap tidak mengikuti kebenaran. Dia tidak mungkin akan ditanya kenapa engkau tidak mengikuti perasaan, hawa nafsu, dan kesukaanmu? Namun jika anda tidak mengikuti kebenaran, justru akan ditanya, kenapa kamu tidak mengikuti kebenaran? Kenapa engkau mengikuti hawa nafsumu dan meninggalkan kebenaran? Hendaklah semua muslim bersemangat untuk mendoakan kebaikan bagi para mujahidin secara khusus dan bagi umat Islam secara umum, mudah-mudahan mereka diberi hidayah dan taufik. Dan hendaklah dia banyak-banyak mengucapkan:

اللهم رب جبرائيل وميكائيل واسرافيل فاطر السموات والارض عالم الغيب والشهادة أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون اهدني لما اختلفوا فيه من الحق بإذنك أنك تهدي من تشاء ألى صراط مستقيم

Insyaa Allah kami akan berusaha sekuat tenaga untuk memaparkan permasalahan deklarasi khilafah secara obyektif tanpa ada rasa fanatik kecuali kepada dalil dan bersih dari klaim-klaim dan tuduhan-tuduhan dari pihak manapun, kami memohon kepada allah agar memberikan taufik dan petunjuk.

Pertama-tama kami sampaikan, sebagaimana yang kita tahu, ahlusunnah wal jama’ah memandang bahwa proses pengangkatan imam (pemimpin) dilaksanakan dengan dua cara yang syar’i, tidak ada cara ketiga. Yaitu dengan pemilihan dan wasiat kepada pengganti. Sedangkan cara ketiga adalah tidak syar’i, yaitu menggulingkan dan mengkudeta. Agar kita bisa mengetahui apakah kekhilafahan dinyatakan sah dengan deklarasi semacam ini ataukah tidak, maka kita harus bertanya atau bertanya-tanya: melalui cara yang mana khilafah yang kita saksikan hari ini didirikan?

Sebelum kita memikirkan jawaban bagi pertanyaan di atas serta argumentasinya, kami akan kutipkan terlebih dahulu statemen-statemen para ulama tentang cara pengangkatan khalifah yang legal dari sisi kuantitas ahlul halli wal aqdi. Setelah itu kami akan sebutkan pandangan yang rajih dalam persoalan tersebut, yaitu pandangan jumhur ahli sunnah wal jama’ah. Dan baru setelah itu kami coba terapkan pada kondisi real deklarasi khilafah yang ada hari ini. Insyaa Allah, kami memohon bantuan kepada Allah. Kami sampaikan:

Dalam permasalahan pengangkatan seorang pemimpin, umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok:

Pertama: Kelompok yang mengharuskan adanya kesepakatan total dari umat (ijma’) atas seorang khalifah pilihan yang dipilih oleh ahlul halli wal aqdi. Al-Asy’ari mengasosiasikan pandangan ini kepada Al-Asham, salah seorang pengikut sekte Mu’tazilah.

Kedua: Kelompok yang mengharuskan adanya kesepakatan total dari seluruh jajaran ahlul halli wal aqdi. Pandangan ini dipilih oleh Abu Ya’la dalam kitab beliau yang berjudul Al-Mu’tamad Fi Ushul Ad-Din.

Setelah kita analisa dua pandangan di atas, keduanya tidak bisa diterima:

Pertama: Pendapat pertama mengharuskan adanya persetujuan dari manusia-manusia bodoh yang sama sekali tidak penting, hal ini tentu bertentangan dengan syariat dan logika. Bertentangan dengan syariat sebab tidak ada satupun dalil yang mengharuskan hal tersebut. Selain itu realita membuktikan bahwa hal tersebut justru tidak dibenarkan. Di lain sisi, hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hazm adalah: Intruksi (taklif) yang di luar kemampuan, tidak mungkin bisa dilakukan, sangat memberatkan, padahal Allah tidak membebani jiwa melainkan dengan kadar kesanggupanya. Allah berfirman: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (kesulitan yang memberatkan)”.

Persyaratan tersebut tidak logis karena orang-orang bodoh sudah bisa dipastikan mengekor pada kelompok (dominan) yang ada di tengah-tengah mereka dan gampang diprovokasi. Artinya, mereka tidak bisa memutuskan sesuatu dengan perlahan, matang, dan penuh pemikiran dalam memilih seorang pemimpin yang adil. Akibatnya pesoalan yang sangat krusial ini menjadi kacau, yaitu persoalan pemilihan seorang Imam yang memenuhi syarat-syarat yang syar’i. Karena itulah, anggota ahlul halli wal aqdi adalah orang-orang garda depan yang memiliki kesadaran dan orang-orang pilihan dari kalangan ahli ijtihad umat Islam yang pantas untuk memilih seorang Imam. Sebab mereka akan memikul dosa pemimpin apabila tidak berusaha sekuat tenaga saat memilih. Dan mereka akan menjadi bersama-sama dengan pemimpin tersebut dalam semua perbuatan dosa dan kezhaliman yang dia lakukan.

Adapun pendapat kedua, maka juga tidak bisa diterima berdasarkan fakta sejarah yang terjadi pada masa sahabat, seperti proses pembai’atan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tidak semua ahlul halli wal aqdi bersepakat dalam pembai’atan tersebut. Sa’d bin Ubadah RA dan sahabat lain tidak bersepakat dalam pembai’atan tersebut. Meskipun demikian, toh bai’at juga tetap terlaksana tanpa kehadiran dan afirmasi dari Sa’d bi Ubadah. Hal ini merupakan bukti bahwa kesepakatan total seluruh ahlul halli wal aqdi bukanlah sebuah keharusan. Selain itu hal tersebut juga sangat sulit dan menyusahkan.

Kelompok kedua: Mereka menentukan jumlah minimal ahlul halli wal aqdi. Pengusung pendapat ini mayoritas adalah ahlul kalam sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berbeda pendapat mengenai penentuan jumlah minimal tersebut menjadi beberapa kelompok:

Kelompok yang mengatakan: jumlah minimal anggota ahlul halli wal aqdi adalah empat puluh orang, jika kurang dari empat puluh, maka tidak sah. Sebab rumus pengangkatan pemimpin adalah sama dengan rumus pelaksanaan shalat Jum’at. Shalat jumah tidak sah jika jumlah personalnya kurang dari empat puluh.

Kelompok yang lain memandang bahwa jumlah minimal anggota ahlul halli wal aqdi adalah lima orang. Kelima-limanya bersepakat mengangkat seorang pemimpin atau salah satu dari anggota memilih dan kemudian disetujui oleh empat anggota lainnya. Mereka berargumentasi dengan fakta sejarah bahwa Abu Bakar dinyatakan sah menjadi pemimpin hanya dengan pengangkatan yang dilakukan oleh lima orang. Fakta sejarah lainnya, Umar memilih enam orang untuk memusyawarahkan pengangkatan khalifah baru. Pendapat ini diasosiasikan kepada guru-guru besar sekte Mu’tazilah pengikut Al-Juba’i dan Al-Qadhi Abdul Jabbar.

Kelompok yang lain memandang bahwa pengangkatan seorang pemimpin (imam) dinyatakan sah cukup dengan kesepakatan empat orang saja, sebagaimana jumlah maksimal saksi dalam pembuktian kasus-kasus kriminal.

Kelompok yang lain memandang bahwa jumlah minimal ahlul halli wal aqdi adalah tiga orang, sebab tiga orang sudah bisa disebut sebagai jama’ah dan tidak boleh diselisihi.

Kelompok yang lain memandang bahwa pengangkatan pemimpin dinyatakan sah berdasarkan persetujuan dua orang atas satu orang. Sebab, dua adalah bilangan minimal sebuah jama’ah. Posisi keduanya seperti seorang hakim dan dua saksi, sebagaimana prosesi pernikahan yang terlaksana dengan keberadaan seorang wali dan dua saksi. Al-Mawardi mengasosiasikan pandangan ini kepada ulama Kufah. Sedangkan Al-Baghdadi mengasosiasikannya kepada Sulaiman bin Jarir Az-Zaidi dan sekelompok orang dari sekte Mu’tazilah.

Ada juga kelompok yang menyatakan bahwa pengangkatan pemimpin dinyatakan sah dengan pengangkatan satu orang saja. Mereka berdalil dengan tindakan Al-Abbas yang mengatakan kepada Ali: “Ulurkan tanganmu, aku akan membai’atmu”. Kemudian dia berkata: “Apakah semua orang diwakili paman Rasulullah?”. Kemudian dia membai’at keponakannya, “jangan sampai ada dua orang yang berselisih tentangmu”. Fakta sejarah lainnya, tatkala Umar membai’at Abu Bakar, para sahabat juga mengikuti dan menyetujui hal tersebut. Sebab bai’at yang dilakukan oleh Umar adalah hukum, dan hukum dari satu orang dinyatakan berlaku. Diantara kelompok yang memiliki pandangan semacam ini adalah kelompok Asy’ariyah, pendapat ini dianut oleh sekte Zaidiyah.

Mayoritas pengikut madzhab Syafi’iyah memandang bahwa seorang pemimpin dinyatakan sah jika diangkat oleh beberapa orang yang terkategorikan sebagai ulama, tokoh, dan pemimpin yang memenuhi kriteria saksi adil yang bisa hadir dan memilih saat prosesi pembai’atan. Bahkan kalau sekiranya hanya dilakukan oleh satu orang saja, maka sudah cukup.

Setelah kita perhatikan dan kaji, pendapat dan pandangan di atas tidak bisa diterima karena beberapa hal berikut:

Menyamakan jumlah ahlul halli wal aqdi dengan jumlah minimal personal shalat jum’at dan jumlah saksi, atau jumlah saski dalam pernikahan dan lain sebagainya tidak bisa diterima. Sebab hal tersebut menyamakan sesuatu yang memiliki perbedaan. Selain itu, tidak sah hukumnya pengangkatan yang dilakukan oleh beberapa orang saja dalam perkara yang berhubungan dengan sluruh umat Islam. Kecuali jika jumlah ahlul halli wal aqdi memang sedikit sekali. -Namun hal ini sangat tidak mungkin terjadi atau mustahil akan terjadi- jika kondisinya memang demikian, maka kondisi menuntut untuk mengambil pandangan dari sejumlah kecil ahlul halli wal aqdi yang ada pada waktu itu. Selain itu, pendapat yang mengatakan bahwa kepemimpinan dinyatakan sah dengan pilihan dua orang lebih baik daripada yang menyatakan empat orang. Tidak juga yang menyatakan empat orang lebih baik daripada sekelompok orang.
Adapun berdalil dengan prosesi pembai’atan Abu Bakar dan Umar, maka juga tidak benar. Sebab pembai’atan Abu Bakar tidak hanya sah karena pembai’atan lima orang yang mereka sebutkan saja. Pembai’atan abu bakar terlaksana berkat pembai’atan para senior muhajirin dan anshar sebagaimana yang disebutkan dalam hadits “saqifah (balairung) Bani Sa’idah”. Ibnu Taimiyah berkata saat mengomentari pendapat seorang syiah rafidhah: “Mereka mengatakan, Pemimpin setelah Rasulullah adalah Abu Bakar berdasarkan bai’at yang dilakukan oleh Umar dan disetujui oleh empat orang. Maka komentar kami: Tidak seperti itu pandangan ulama sunni. Meskipun beberapa orang ahlul kalam mengatakan bahwa kepemimpinan dianggap sah dengan bai’at dari empat orang, sebagaimana ada juga yang mengatakan: pengangkatan dianggap sah dengan adanya bai’at dari dua orang. Sebagian mereka juga mengatakan: pengangkatan dianggap sah dengan bai’at yang dilakukan oleh satu orang. Semua pendapat ini bukanlah pendapat ulama sunni. Menurut pandangan sunni, kepemimpinan dinyatakan sah jika mendapat persetujuan dari para pemilik kekuatan (ahlu syaukah). Seseorang tidak sah menjadi pemimpin sampai mendapatkan persetujuan dari para pemilik kekuatan yang apabila mereka ditaati maka tujuan adanya pemimpin bisa terwujud”, –dan seterusnya hingga beliau mengatakan – : “Kalau seandainya Umar dan kelompok orang membai’atnya –membai’at Abu Bakar- sedangkan para sahabat yang lain tidak mau membai’at, maka Abu Bakar tidak sah menjadi pemimpin dikarenakan hal tersebut. Beliau menjadi pemimpin yang sah berkat bai’at yang dilakukan mayoritas sahabat yang merupakan representasi dari pemegang kekuasaan dan kekuatan”. Selesai.
Begitu juga dengan tindakan Umar bin Khaththab yang menyerahkan pengangkatan khalifah kepada enam orang sahabat. Saya sampaikan, pertama, Umar memilih mereka karena para sahabat selaku ahlul halli wal aqdi meminta kepada Umar agar memilih beberapa orang untuk mewakili mereka. Dengan demikian keenam orang tersebut adalah representasi dari para sahabat itu sendiri, dengan kata lain, umar memilih berdasarkan permintaan mereka sendiri. Kedua, enam bukanlah jumlah minimal ahlul halli wal aqdi yang memiliki legalitas untuk memilih dan berpendapat dalam menentukan pilihan, namun keenam sahabat tersebut adalah memang orang yang dipilih untuk bermusyawarah. Mereka semua adalah kandidat khalifah dan salah satu dari mereka akan dipilih menjadi khalifah. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Utsman tidak serta merta menjadi pemimpin hanya dengan pilihan sebagian dari enam orang kandidat, namun berdasarkan bai’at yang dilakukan oleh umat Islam. Seluruh umat Islam membai’at utsman dan tidak ada satupun yang tidak membai’atnya”.
Imam Ahmad juga menyebutkan hal tersebut, bai’at kepada Utsman terlaksana secara konsensus. Terbukti Abdurrahman bin Auf selama tiga hari tidak sempat merasakan tidur nyenyak karena bermusyawarah dengan para senior muhajirin dan anshar, beliau meminta pandangan umat Islam waktu itu tentang Utsman dan Ali. Pandangan umat Islam diwakili oleh pendapat para pimpinan dan tokoh-tokoh di tengah-tengah mereka, baik secara keseluruhan maupun terpencar-pencar diberbagai wilayah, satu-satu ataupun dua-dua, mereka semua sepakat tidak ada satupun yang menolak kepemimpinan Utsman.

Adapun berdalil dengan apa yang dilakukan Umar yang mana beliau membai’at Abu Bakar, kemudian disusul oleh para sahabat dan kemudian disetujui oleh mereka, maka argumentasi semacam itu sama sekali tidak benar. Sebab faktor yang menyebabkan para sahabat mengikuti Umar dan ridha kepada pilihan Umar adalah bukan karena Umar mewajibkan para sahabat untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Sebab, jika memang seperti itu kesimpulannya, maka apabila yang membai’at bukan umar, berarti kepemimpinan Abu Bakar secara khusus tidak sah. Padahal, Umar adalah orang yang mengatakan: “Barang siapa yang membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, maka orang tersebut dan orang yang dibai’at tidak boleh diikuti. Keduanya sengaja menyetorkan nyawa kepada Ummat”. Adapun perkara Umar menjadi orang yang terlebih dahulu melakukan bai’at, maka setiap prosesi bai’at sudah barang tentu ada yang memulai, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah.
Adapun berdalil atas sahnya bai’at yang dilakukan oleh satu orang dengan fakta sejarah bahwa Al-Abbas mengatakan kepada Ali bin Abi Thalib setelah Nabi wafat: “Ulurkan tanganmu, aku akan membaiatmu”, maka orang-orang berkata: “Paman Rasulullah telah membai’at keponakannya…dst”, maka sama sekali tidak benar karena beberapa hal berikut:
Kita harus membuktikan kebenaran kisah tersebut, dan hal tersebut sangat mustahil, sebab perawi yang mengatakan hal tersebut tidak mencantumkan sanad dan sumbernya, dan saya sama sekali tidak menemukan sanadnya.
Kalau seandainya shahih, maka pengangkatan tersebut tetap tidak berlaku, dan beliau memang tidak melakukannya sama sekali.
Kalaupun beliau melakukan hal tersebut, maka tujuannya adalah untuk memberikan motivasi dan dorongan bagi orang lain agar ikut melakukan bai’at. Hal ini sangat jelas sekali dari redaksi: “Maka orang-orang berkata: Paman Rasulullah telah membai’at keponakannya”. Artinya, Al-Abbas memulai pelaksanaan bai’at dengan harapan umat Islam yang lain mengikuti langkah tersebut.
Adapun pendapat yang dianut oleh Jumhur madzhab syafi’i yang menyatakan bahwa kepemimpinan dianggap sah dengan adanya bai’at dari sekelompok orang ahlul halli wal aqdi yang bisa hadir dalam prosesi pembai’atan, maka pendapat ini bisa diketahui kelemahannya apabila anda mengetahui pandangan yang rajih dalam masalah ini berikut dalil-dalilnya. Nanti akan dijelaskan Insya Allah. Adapun pendapat bahwa kepemimpinan dinyatakan sah dengan bai’at yang dilakukan oleh satu orang jika jumlah ahlul halli wal aqdi memang hanya satu orang, maka sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Ra’fat Utsman: “Tidak pernah ada ceritanya jumlah ahlul halli wal aqdi hanya satu orang dalam setiap masa, dan sangat jarang sekali hal tersebut terjadi. Sesuatu yang jarang berarti tidak ada hukumnya”.
Di antara bukti kelemahan pendapat-pendapat tersebut secara umum adalah apa yang akan saya jelaskan dalam pembahasan pendapat yang rajih, juga riwayat yang bersumber dari Umar bahwa Nabi bersabda:“Barangsiapa yang menginginkan tinggal di tengah-tengah surga maka hendaklah dia selalu berjama’ah, sebab setan bersama orang yang sendirian, setan sedikit menjauh dari dua orang“. Umar berkata: “Barangsiapa yang membai’at seseorang tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan umat Islam, maka dia tidak boleh diikuti dan orang yang dibai’at juga tidak boleh diikuti, keduanya sengaja menyetorkan nyawa kepada umat Islam (minta dibunuh)”.

Kelompok ketiga: Pendapat yang rajih, madzhab Ahlusunnah Wa Al-Jama’ah

Madzhab ke tiga memiliki pandangan yang pertengahan dalam menentukan jumlah anggota ahlul halli wal aqdi, mereka tidak mengharuskan adanya ijma’ (konsensus) sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab pertama, dan tidak juga mengharuskan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab kedua, tapi mereka mengharuskan adanya kesepakatan mayoritas ahlul halli wal aqdi dan para pemilik power, serta orang-orang berpengaruh yang bai’at mereka mampu mewujudkan tujuan dari adanya pemimpin. Berdasarkan pendapat ini maka ketidaksetujuan sebagian ahlul halli wal aqdi sama sekali tidak mencederai sah-tidaknya pengangkatan khalifah. Sebagaimana juga persetujuan segelintir ahlul halli wal aqdi juga tidak bisa menjadi sarana yang syar’i untuk menduduki kekuasaan. Sebab ketidaksetujuan segelintir ahlul halli wal aqdi sama sekali tidak berpengaruh terhadap tujuan adanya pemimpin. Dan persetujuan segelintir ahlul halli wal aqdi juga sama sekali tidak bisa mewujudkan tujuan dari adanya pemimpin. Yang jadi standar adalah persetujuan mayoritas (jumhur) sebab dengan persetujuan mereka tujuan kepemimpinan bisa terwujud yaitu kekuasaan penuh yang termanifestasikan dalam sosok khalifah.

Al-Mawardi berkata: “Ada kelompok yang mengatakan: pemimpin tidak dinyatakan sah kecuali jika diangkat oleh mayoritas ahlul halli wal aqdi di masing-masing negara. Tujuannya adalah agar semua orang benar-benar rela dan kepemimpinannya bisa diterima oleh semua orang. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Abu Ya’la dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, beliau menyatakan: adapun rumus bahwa pengangkatan imam dianggap tidak sah kecuali jika dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi, maka maksudnya, status kepemimpinannya dianggap tidak sah kecuali jika yang mengangkatnya adalah mayoritas ahlul halli wal aqdi. Ahmad berkata dalam riwayat Ishaq bin Ibrahim, seorang pemimpin yang disepakati oleh seluruh ahlul halli wal aqdi, maka ini adalah imam. Abu ya’la berkata: secara redaksional dapat dipahami bahwa kepemimpinan dinyatakan sah apabila dipilih oleh sekelompok orang dari kalangan ahlul halli wal aqdi”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan hal tersebut, beliau mengatakan dalam Minhaju Sunnah An-Nabawiyah saat mengomentari ucapan orang syiah rafidhah: “Mereka mengatakan: pemimpin umat setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar berdasarkan bai’at yang dilakukan Umar dan persetujuan empat orang sahabat. Komentar: bukan seperti itu pandangan ulama Ahlusunnah (sunni), meskipun beberapa orang ahlul kalam mengatakan, kepemimpinan sah dengan bai’at dari empat orang, sebagaimana ada juga yang mengatakan: sah dengan adanya bai’at dari dua orang. Sebagian mereka juga mengatakan: sah dengan bai’at yang dilakukan oleh seseorang. Semua pendapat ini bukanlah pendapat ulama sunni. Kepemimpinan menurut pandangan sunni dinyatakan sah jika mendapat persetujuan dari pemilik kekuatan dalam persoalan kepemimpinan. Seseorang tidak sah menjadi pemimpin sampai mendapatkan persetujuan dari pemilik kekuatan yang jika mereka ditaati maka tujuan adanya kepemimpinan bisa terwujud. Diantara hal yang menunjukkan bahwa yang termasuk pilar-pilar utama dari kepemimpinan adalah adanya kekuatan dan proteksi (perlindungan) terhadap rakyat yang berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin adalah sabda Rasulullah:Pemimpin adalah tameng, umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya”.

Ibnu Taimiyah juga mengatakan: “Kalau seandainya Umar dan sekelompok orang yang bersamanya membai’at Abu Bakar sedangkan para sahabat yang lain tidak membai’atnya, maka Abu Bakar tidak sah menjadi pempimpin umat. Beliau menjadi imam berkat bai’at yang dilakukan oleh mayoritas sahabat yang merupakan pemilik kekuasaan dan kekuatan. Oleh karena itu tindakan Sa’d yang tidak mau berbai’at, sama sekali tidak memiliki efek apapun terhadap keabsahan Abu Bakar, sebab tindakan Sa’d sama sekali tidak mencederai tujuan pengangkatan pemimpin. Tujuan adanya kepemimpinan adalah memperoleh kekuasaan dan kemampuan yang dengan keduanya akan lahir mashlahat sebuah kepemimpinan. Hal tersebut telah terwujud dengan adanya persetujuan dari mayoritas sahabat. Siapa yang menyatakan bahwa Abu Bakar menjadi imam karena persetujuan satu orang, dua orang, atau empat orang yang mana mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan dan kekuatan, maka dia telah salah. Begitu juga orang yang menganggap bahwa ketidaksetujuan satu orang, dua orang, atau sepuluh orang bisa membatalkan kepemimpinan, maka dia telah salah”.

Beliau juga berkata tentang pembai’atan Utsman: “Seluruh kaum muslimin membai’at Utsman bin Affan, tidak ada seorangpun yang tidak berbai’at. Tatkala para pemilik kekuatan dan kekuasaan membai’atnya, maka jadilah dia seorang pemimpin. Kalau seandainya Abdurrahman membai’atnya sedangkan Ali dan sahabat pemegang kekuatan lainnya tidak membai’atnya, maka dia tidak sah menjadi pemimpin”.

Umar berkata, saat itu beliau berada di atas ranjangnya: “Pelan-pelan! Jika terjadi apa-apa dengan diriku maka hendaklah Shuhaib mantan budak Bani Jad’an mengimami shalat selama tiga hari, kemudian pada hari ketiga kumpulkanlah orang-orang terhormat dan para komandan pasukan, lalu pilihlah salah seorang dari kalian bermusyawarah dengan mereka berenam, barang siapa yang menjadi pemimpin tanpa didahului musyawarah maka penggallah lehernya”.

Ibnu Taimiyah juga berkata: “Apabila dia dibai’at dengan bai’at yang mampu menghasilkan kekuatan dan kekuasaan maka dia sah menjadi pemimpin umat. Oleh karena itu Ulama sunni mengatakan: Barangsiapa yang kekuatan dan kekuasaan menjadi miliknya, dengan kekuatan dan kekuasaan tersebut dia bisa menjalankan tujuan adanya kepemimpinan maka dia adalah ulil amri yang allah perintahkan untuk ditaati. Selama mereka tidak memerintahkan untuk melakukan maksiat. Imamah adalah kerajaan dan kekuasaan, seorang raja tidak sah menjadi raja hanya dengan persetujuan satu orang, dua orang, atau empat orang, kecuali jika persetujuan mereka menuntut persetujuan dari selain mereka”.

Al-Juwaini berkata: “Dalam pencopotan dan pengangkatan Imam harus memperhatikan pemilik kekuatan”.

Ash-shawi berkata: “Pendapat yang terpilih dalam masalah tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Abu Ya’la, Ibnu Taimiyah, dan yang mengikuti mereka berdua, yaitu kepemimpinan dinyatakan sah dengan persetujuan mayoritas ahlul halli wal aqdi yang mana bai’at yang mereka lakukan menunjukkan kerelaan seluruh kaum muslimin terhadap pemimpin tersebut, mereka pada saat yang sama adalah pemilik kekuatan dan dominasi yang tidak mungkin tujuan-tujuan kepemimpinan bisa terlaksana tanpa kekuatan tersebut. Sebab, tidak diragukan lagi mengharuskan terjadinya ijma “kesepakatan total” adalah hal yang sangat sulit, sedangkan jika hanya mengikuti persetujuan satu orang, maka hal tersebut merupakan bentuk usaha yang tidak serius”.

Oleh karena itu bai’at yang syar’i terhadap khalifah dan Imam haruslah memenuhi dua hal berikut:

Pertama: Persetujuan mayoritas ahlul halli wal aqdi terhadap kepemimpinannya yang mana bai’at yang mereka lakukan merupakan representasi dari persetujuan mayoritas umat Islam sebagaimana yang tertera dalam shahih Bukhari bahwa Umar RA berkata: “Barang siapa yang membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, maka orang tersebut tidak boleh diikuti dan juga yang dibai’at. Keduanya sengaja menyetorkan nyawa kepada umat Islam”.

Juga pesan beliau kepada enam anggota musyawarah: “Barang siapa yang menjadi pemimpin tanpa didahului musyawarah maka penggallah lehernya”. Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad yang shahih, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar di dua tempat dalam Fathul Bari.

Ma’rur bin Suwaid juga meriwayatkan: “Saya mendengar Umar berkata: Barang siapa yang mengkampanyekan kepemimpinan yang tanpa didahului musyawarah dengan umat Islam maka penggallah lehernya”.

Kedua: Mereka adalah pemilik kekuatan dan dominasi yang mana tujuan-tujuan adanya pemimpin tidak mungkin terlaksana kecuali dengan persetujuan mereka. Hal tersebut merupakan penerapan dari sabda Rasulullah: “Sesungguhnya pemimpin adalah tameng, umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya“. (Muttafaqun alaih)

Setelah pemaparan ini maka kami sampaikan, jika kita renungkan deklarasi khilafah yang ada hari ini, kemudian kita urai seperti uraian di atas, setelah itu kita perjelas lagi, maka kita bisa menyimpulkan bahwa deklarasi tersebut kehilangan dua hal yang menjadi standar sah tidaknya sebuah kepemimpinan.

Di satu sisi, mereka –yang mendeklarasikan khilafah- tidak bermusyawarah dengan mayoritas ahlul halli wal aqdi dari umat Islam. Bahkan mereka tidak bermusyawarah dengan ahlul halli wal aqdi di luar kelompok mereka yang terdiri dari para komandan jihad yang mana mereka adalah manusia-manusia yang sangat pantas masuk dalam jajaran ahlul halli wal aqdi, baik yang berada di Khurasan, Pakistan, Yaman, Somalia, Al-Jazair, Nigeria, Kaukasus, Mali, Tunisia, Sina, Palestina atau mujahidin-mujahidin di tempat lainnya. Hal ini saja tidak mereka lakukan, apalagi bermusyawarah dengan seluruh komponen ahlul halli wal aqdi dari umat Islam. Perlu diketahui, ketika kami mengatakan ahlul halli wal aqdi maka kami tidak memaksudkan para ulama thaghut, agen barat, dan pengekor barat dengan berbagai modelnya, atau ulama-ulama menyimpang baik karena syahwat ataupun syubhat. Maksud kami adalah ulama-ulama yang memenuhi kriteria ahlul halli wal aqdi yang disebutkan oleh para ulama seperti: berakidah lurus, berilmu, adil, bisa berfikir dan berpendapat, bijak, punya kekuatan, dan lain sebagainya. Saya pikir tidak ada satu wilayahpun yang tidak memiliki ulama yang memenuhi kriteria seperti itu, Alhamdulillah.

Dan secara khusus bumi-bumi jihad yang kami sebutkan tersebut. Alangkah banyaknya jumlah para pemimpin, ulama, masyayikh, komandan yang memiliki aqidah yang lurus, ilmu, pandangan, dan kekuatan di wilayah yang mereka tempati. –Di antara mereka ada yang terkenal dan ada juga yang tidak, ketidak masyhuran mereka bukan berarti menggugurkan hak mereka untuk ikut menjadi anggota ahlul halli wal aqdi- mereka telah berjihad dan melakukan pembelaan terhadap umat Islam selama berpuluh-puluh tahun, mudah-mudahan Allah membalas jasa mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka sebagaimana yang kami sampaikan, adalah manusia yang paling berhak untuk masuk dalam jajaran ahlul halli wal aqdi, saya pikir tidak mungkin ada orang waras dan obyektif yang meragukan hal tersebut.

Di sisi yang lain, mereka –yang mendeklarasikan khilafah- tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan yang mampu mereka gunakan untuk menjaga kaum muslimin dan melemahkan siapa saja yang berada di luar wilayah yang dikuasainya di Irak dan Syam, untuk mewujudkan tujuan dari adanya khilafah. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Sesungguhnya pemimpin itu adalah tameng, umat berperang dibelakangnya dan berlindung dengannya”. (Muttafaqun alaih)

Agar gambarannya semakin jelas maka kami katakan: Kekuasaan Daulah terhadap wilayah-wilayah yang dikuasainya di Irak dan Syam adalah sama dengan kekuasaan Taliban di Afghanistan, baik sebelum mereka memerangi Afghanistan –thaliban saat itu memiliki seluruh pilar-pilar negara serta komponen-komponen kerajaan yang dibutuhkan seperti kementerian-kementerian dan institusi-institusi negara yang benar-benar nyata adanya, tidak ada komponen yang kurang sama sekali. Bahkan mereka memiliki mata uang sendiri, dan lain sebagainya. Atau saat ini, sebagaimana yang sudah kita tahu Thaliban saat ini berhasil menguasai pos-pos penting di Afghanistan. Begitu juga dengan gerakan Thaliban di pakistan, mereka memiliki kekuasaan terhadap beberapa wilayah di waziristan bahkan sempat menguasai ibu kota pada tahun 2008. Begitu juga dengan kekuasaan gerakan Ash-Shabab Somalia, juga kekuasaan Anshar Syariah di Yaman yang berhasil menguasai wilayah Abyan dan Syabwah. Juga Ansharud Din tatkala berhasil menguasai Mali, tidak ada hak bagi salah satu dari mereka untuk untuk mendeklarasikan khilafah tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan kaum muslimin lainnya. Sebab apabila mereka ‘nekat’ mendeklarasikan khilafah, maka mereka tidak memiliki dua hal, pertama: Syura. Maksudnya, mengangkat pemimpin dengan musyawarah bersama kaum muslimin. Kedua: kekuatan (power/syaukah), mereka tidak memiliki kekuatan kecuali hanya pada wilayah yang dikuasai saja. Seperti itulah status deklarasinya jika kita anggap mereka berkuasa di wilayah yang mereka tempati dan tidak memiliki kekuatan di wilayah lainnya.

Pada poin ini kami akan merenungkan kembali jawaban-jawaban bagi pertanyaan yang disampaikan didepan sehingga gambarannya semakin jelas.

Maka kami katakan, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak mungkin keluar dari salah satu cara dari tiga cara yang disebutkan oleh Ahlu Sunnah, yaitu pemilihan atau wasiat kepada pengganti atau jalur yang tidak syari’, yaitu kudeta dan revolusi, namun cara tersebut dinilai sah karena kondisi yang sangat mendesak meskipun sebenarnya tidak boleh.

Jika ada yang mengatakan: Sesungguhnya khilafah yang ada hari ini adalah sah karena diangkat dengan cara pemilihan. Maka kami katakan, hal ini tidak benar berdasarkan penjelasan di depan. Daulah sendiri menyatakan bahwa dirinya tidak mengajak seorangpun untuk bermusyawarah. Yang mengangkat khalifah adalah Majlis Syura Daulah sendiri. Orang-orang yang dipilih Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Majlis Syura lah yang mengangkatnya menjadi khalifah bagi kaum muslimin.

Jika ada yang mengatakan, kekhilafahannya sah karena Syaikh Abu umar Al-Baghdadi telah menunjuk Abu Bakar Al-Baghdadi. Saya katakan, Pertama, Daulah sendiri sama sekali tidak pernah mengklaim bahwa Abu Umar adalah khalifah sehingga dia boleh menunjuk pengganti. Kalau seandainya diasumsikan bahwa beliau mengklaim sebagai khilafah –dan hal tersebut tidak terbukti- maka mereka klaim juga tetap bermasalah. Sebagaimana yang telah kita diskusikan di depan, renungkanlah. Bahkan kalau seandainya Abu Umar benar-benar khalifah dan menunjuk pengganti maka syarat untuk menunjuk pengganti adalah persetujuan ahlul halli wal aqdi sebagaimana Abu Bakar mengajak para sahabat untuk bermusyawarah tatkala hendak menunjuk Umar, bahkan merekalah yang sejak awal meminta Abu Bakar untuk menunjuk pengganti. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Begitu juga dengan Umar, tatkala Abu Bakar menunjukknya sebagai pengganti, beliau sah menjadi pemimpin umat tatkala para sahabat membai’atnya dan memberikan ketaatan kepadanya. Kalau seandainya tidak melaksanakan wasiat Abu Bakar dan tidak membai’atnya maka dia tidak sah menjadi pemimpin umat Islam”.

Renungkanlah! Sebenarnya Abu umar adalah pemimpin untuk wilayah yang dia kuasai di Irak saat itu, posisinya seperti Abu Zubair di Somalia, Mula Muhammad Umar di Afghanistan dan pemimpin-pemimpin wilayah lainnya yang berkuasa di wilayah-wilayah mereka sendiri. Di sini kami ingatkan bahwa pengakuan dari guru-guru besar Jihad semisal Syaikh Usamah dan Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri terhadap kepemimpinan Abu Umar Al-Baghdadi adalah pengakuan terhadap kepemimpinanya atas Irak bukan sebagai khalifah. Siapa yang merenungkan hal ini tentu bisa memahami bahwa maksud penyebutan Abu Umar dengan Amirul Mukminin bukanlah berarti khalifah bagi seluruh umat Islam. Statusnya seperti Mula Muhammad Umar hafizhahullah, beliau disebut amirul mukminin sebelum Abu Umar Al-Baghdadi, meski demikian dia bukanlah khalifah dan tidak pernah mengklaim sebagai khalifah. Penamaan tersebut hanyalah julukan yang dipakai keduanya. Yang menjadi standar penilaian selalunya adalah fakta dan maksud bukan nama dan redaksi.

Jika ada yang mengatakan bahwa khilafah bisa terwujud dengan melalui cara ketiga yang tidak syar’i, yaitu dengan mengalahkan dan memaksa. Maka jawabannya, hal tersebut juga tidak benar dan sama sekali tidak terjadi. Dan sebagaimana yang kami sampaikan semua orang yang berakal pasti tahu dan yakin bahwa Abu Bakar Al Baghdadi tidak menaklukkan Khurasan, Somalia, dan wilayah-wilayah lainnya dari wilayah kaum muslimin. Selain itu para pemimpin di wilayah-wilayah tersebut juga tidak mendominasi dan berkuasa di wilayah yang dikuasai oleh Daulah di Irak dan Syam. Dia memiliki kekuatan dan dominasi seperti halnya Abu Zubair di Somalia, Amir Thaliban di Khurasan dan semua amir di wilayah kekuasaannya. Perlu diketahui bahwa kami mengatakan seperti ini dalam rangka memperjelas masalah dari sisi syar’inya sebab kami menghormati mereka semua karena mereka memiliki obsesi untuk mendirikan kerajaan dan kekuasaan, bahkan obsesi mereka setahu kami adalah menolong Agama Allah dan meninggikan kalimat Allah meskipun ada di antara mereka ada yang melakukan kesalahan. Dari sini jelas sekali bahwa klaim adanya dominasi dan kekuasaan yang memungkinkan baginya menjalankan posisi sebagai khalifah bagi seluruh kaum muslimin adalah tidak benar.

Di sini kami juga bertanya, apakah dengan kemampuan yang dimiliki untuk melantik khalifah, mereka bisa mengirimkan pasukan untuk membebaskan ribuan tawanan kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan yang dia jadikan sebagai rakyat dan dia nobatkan dirinya sebagai imam bagi mereka di timur dan barat. Sama saja baik mereka berada dalam genggaman murtaddin atau genggaman bangsa-bangsa kafir semisal Rusia, Cina, Amerika, dan lain sebagainya. Apakah hanya dengan kemampuan menolong seorang syaikh yang rumahnya dihancurkan di palestina atau mampu mengembalikan harta seorang muslim di Mauritania maka statusnya menjadi seperti tameng pelindung? Apalagi kalau kami tanyakan apakah dia telah atau dia mampu memenuhi semua kebutuhan kaum muslimin di wilayah-wilayah mereka, baik berupa keamanan, manfaat, makanan, perbaikan jalan sebgaiamana pernyataan Umar bin Khaththab RA saat di madinah: “Demi Allah, kalau seandainya ada seekor bighal yang tersandung batuan di tanah Irak, niscaya saya akan ditanya di hadapan Allah, kenapa saya tidak memperbaiki jalan untuk bighal tersebut?”.

Terakhir, saya memohon kepada Allah karunia dan kemurahannya agar menyatukan kaum muslimin semuanya di atas kalimat tauhid, dan mudah-mudahan Allah menjaga para mujahidin dari kejahatan nafsu mereka dan kejahatan konspirasi setan, dan mudah-mudahan Allah mengembalikan kekhilafahan yang lurus yang berhukum dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah kepada umat Islam.

Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin.

Ditulis oleh Muhammad bin Shalih Al-Muhajir

Diterjemahkan oleh :

MUQAWAMAH MEDIA TEAM

(adibahasan/muqawamahmedia/arrahmah.com)

TOPIK: DAULAH, DEKLARASI KHILAFAH, ISIS, MAKALAH HASI DISKUSI, YAYASAN NUKHBAH AL-FIKR

Seminar Pengembangan Dukungan untuk Dokter di Daerah Terpencil


Yogyakarta, 07 April 2014

Dr.-Charles-Ervill-sebagai-Board-member-Australian-College-of-Rural-and-Remote-Medicine

Seminar Pengembangan Dukungan untuk Dokter di Daerah Terpencil Berdasarkan Pengalaman di Australia, telah diselenggarakan PKMK FK UGM pada Senin (7/4/2014) di Ruang IKD, Lantai 2, Gedung S3 FK UGM. Pembukaan disampaikan oleh Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc., PhD.  dengan ucapan selamat datang di Lunch Seminar tentang dokter rural. Seminar ini menghadirkan pembicara Dr. Charles Ervill sebagai Board member Australian College of Rural and Remote Medicine. Selain dapat dihadiri secara langsung, seminar ini juga dapat diikuti secara webinar oleh peserta dari seluruh dunia melalui beberapa website yang dikelola oleh PKMK. Kemudian M. Fadjar Wibowo, S. Ked sebagai moderator mengawali dengan menyampaikan akan ada hal menarik atau fakta yang ditemukan di Australia yang bisa dipraktekkan di Indonesia.

Dr. Charles Ervill merasa terhormat dan senang bisa datang di Indonesia untuk bercerita mengenai pengalamannya. Ia membeberkan hal-hal yang ditemukan di Australia yang memiliki kesamaan dengan Indonesia tentang daerah terpencil. Dr. Charles memulai tentang deskripsi kondisi di Australia dan masalah yang ada di daerah terpencil dan pedalaman. Ia juga membahas kondisi tenaga kesehatan yang melayani di daerah pedalaman Australia, pendidikan kedokteran, petugas kesehatan, mahasiswa kedokteran dan lain-lain.

Australia-population-density

Penyebaran penduduk di Australia tidak merata. Penduduk terkonsentrasi di sepanjang area timur laut hingga selatan benua ini, sedikit di barat daya dan barat serta sebagain kecil di utara. Bagian tengah benua adalah area kosong dengan sedikit sekali atau tidak ada penduduk, kecuali beberapa titik di Negara Bagian Northern Territory dan South Australia. Sedikit dokter yang bersedia jadi dokter umum, walaupun sebenarnya dokter umum diperlukan di daerah pedalaman. Kesulitan dokter di daerah terpencil karena merasa terisolasi dan jauh dari fasilitas kesehatan yang maju. Ada semacam “The Royal Flying Doctor Services”, atau seperti ambulance udara, yang bisa menjemput pasien di daerah pedalaman yang butuh penanganan emergency pada kasus appendicitis, trauma oleh kecelakaan, namun ini membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak disarankan untuk Indonesia. Selain itu, menurut pengalaman Dr. Charles mengakses pelayanan ini, diperlukan waktu setidaknya 10 jam untuk helikopter ambulance tiba di lokasi untuk mengevakuasi pasien/korban kecelakaan.

Saat ini fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil Australia banyak diisi oleh dokter asing yang berasal dari India, Thailand, Filipina, dan negara-negara lain, namun tidak ada yang berasal dari Indonesia. Dokter yang bekerja di daerah rural harus juga mempelajari dasar-dasar keterampilan sebagai dokter spesialis Obsgyn, Anak dan Kegawatdaruratan. Oleh karenanya, di Australia ada pendidikan tambahan untuk menjadi Generalist-Physician atau Dokter Spesialis Umum. Di Indonesia masih sulit memfasilitasi hal ini karena belum ada kurikulumnya.

para-peserta-seminar

Ada cukup banyak negara yang memiliki masalah dengan generalist medizine, anatra lain Singapura, Jepang, Pasifika, Afrika Selatan, Kanada dan New Zealand. Tahun lalu berbagai negara ini berkumpul di Australia untuk menghasilkan consensus mengenai mengenai Rural Generalist Medicine. Konsensus ini menunjukkan komitmen negara-negara yang terlibat dalam meningkatkan kesehatan penduduk di daerah rural melalui pelayanan kesehatan yang aksesibel dan bermutu tinggi.

Pada sesi diskusi yang hangat, dr. Muhammad Rizki dari FK Universitas Mataram menanyakan apakah Fakultas Kedokteran di Australia sudah memasukkan remote area/rural medicine kedalam kurikulum dan apakah dokter yang baru tamat sudah siap untuk melayani didaerah terpencil. Dr. Charles menanggapi bahwa Rural Clinical School diadakan oleh James Cook University, mahasiswa akan tinggal disana selama satu atau dua tahun tahun dan praktek di daerah terpencil serta menjalani semacam Rural Training Program. Melalui webinar peserta dari Kalimantan Timur menanyakan bagaimana cara mencegah retensi dokter. Di Australia dokter mendapat penghasilan yang bagus, meskipun tidak ada perbedaan antara dokter yang bekerja di wilayah perkotaan dengan di daerah remote. Pelibatan sebanyak mungkin orang yang bisa diajak bekerjasama juga dapat menjadi solusi dan yang paling baik adalah mencoba melakukannya.

Pertanyaan lain dari peserta adalah bagaimana dokter di Australia bisa termotivasi untuk melayanai di rural area? Sistem apa yang dibuat untuk merangsang dokter mau melayani di rural area? Dr. Charles menyarankan untuk pertama, pilihlah mahasiswa yang berasal dari “rural background”, dia akan mau kembali ke daerahnya, kedua, exposure during training dan ketiga melakukan seleksi terhadap dokter yang memiliki sense of pelayanan di rural area, walaupun itu sangat sulit.

Prof. Laksono Trisnantoro juga menanyakan bagaimana dengan dokter spesialis di rural area? dr. Evrill menjawab dokter spesialis dan sub spesialis lebih suka di kota, karena pasien lebih banyak disana, daerah rural lebih memerlukan dokter umum, dan dokter umum di Australia harus memiliki setidaknya satu tahun pelatihan untuk satu bagian spesialis seperti anestesi, obsgin, bedah, populasi, dermatology dan lain-lain (setidaknya ada 12 bagian). Pada akhir sesi, Prof. Laksono Trisnantoro menyimpulkan  pertama, gambaran situasi Australia dan Indonesia berbeda, dimana Indonesia yang merupakan kepulauan memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi. Kedua, rural medicine menjadi penting karena dalam era JKN saat ini terdapat diskriminasi, jika jumlah dokter di suatu daerah sedikit maka penyerapan dana BPJS akan sedikit pula karena tagihan berdasarkan klaim. Ketiga, Rural Doctor Issue perlu diketengahkan, agar dana dalam era JKN tidak tersedot ke daerah yang bukan termasuk terpencil. Keempat, pada sektor pendidikan, di Australia pendidikan kedokteran rural sudah pendidikan tersendiri, mungkin ini bisa menjadi referensi. Kelima, dii Australia ada dokter plus, dengan kewenangan tindakan khusus yang mejadi kompetensi spesialis di Indonesia.
Selanjutnya Prof. Laksono Trisnantoro menyampaikan “what next” dari seminar ini :

Di Australia, Organisasi Profesi Dokter dan Kolegium berbeda, tapi di Indonesia masih menjadi satu. Hal ini harus menjadi perhatian sehingga pengembangan dokter rural dapat diwujudkan.
Fakultas Kedokteran UGM mendukung rural medicine, dengan CME online (internet) yang sekarang sedang digalakkan, juga dengan web pendidikankedokteran.net

Selanjutnya dr. Asep Purnama, SpPD yang mengikuti webinar dari Maumere, Flores, diberi kesempatan untuk menanggapi tentang hal tersebut. Menurut dr. Asep, pengembangan kompetensi dokter bagi yang bekerja di daerah terpencil memiliki komponen yang sangat mahal pada biaya transportasi. Bila ada pelatihan-pelatihan yang bisa diberikan melalui internet, maka hal ini bisa menekan biaya dan sangat mungkin untuk dikembangkan.  Di akhir sesi seminar Prof. Laksono menekankan perlu dibentuk asosiasi dokter rural untuk memperjuangkan ketersediaan pelayanan kesehatan di daerah sulit, dan harus didukung dengan kegiatan-kegiatan seminar/workshop minimal sebulan sekali dengan media internet. Menurutnya juga pelru ada deklarasi tentang ini dengan mengundang stakeholder terkait termasuk Menteri Kesehatan. (TYR, W, PEA).

Reporter:

Tri Yuni Rahmanto, SE, S.Kep, Ners.
Widarti, SIP
Ni Luh Putu Eka Putri Andayani, SKM,. M.Kes

SUBSIDI ADALAH (bagian) KEDAULATAN RAKYAT


Oktober – 5 Nopember 2014

Assalamu ‘Alaikum Wr.Wb

Sebagai awam, saya sendiri bertanya kapan sebenarnya subsidi  oleh pemerintah itu  di mulai. Subsidi  dalam bentuk komoditas apa dan berapa persenkah dari nilai sebenarnya yang menjadi  beban  sendiri ? Apa tujuan pemerintah memberikan subsidi ?

subsidib

Hidup dalam dunia yang terus berkembang membuat kita kadang tersendak jika mendengar berita tentang pengurangan subsidi yang selama ini kita nikmati sebagai warga negara. Kenaikan beban atau harga yang harus kita bayar berbanding terbalik dengan penurunan subsidi  yang sebelumnya . Salah satu tujuan dari pemberian subsidi adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Dalam hal ini, semakin jelas bahwa penurunan jumlah subsidi akan mengurangi  daya beli itu sendiri. Hal tersebut tentu berpotensi menghambat  perkembangan ekonomi. Ini semakin terasa karena  yang disebut kebutuhan yang disubsidi merupakan kebutuhan vital  nyaris semua warga negara. Sehingga, suasananya semakin terasa berat akibat dari kebijakan ini.

Subsidi untuk BBM dan bahkan subsidi lainnya merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah dan negara terhadap rakyat. Tanpa mengenal seorang warga negara itu miskin ataupu kaya. SUBSIDI BUKAN BEBAN !!! SUBSISDI ADALAH WUJUD TANGGUNGJAWAB DAN KASIH SAYANG PEMERINTAH DAN NEGARA TANPA MENGENAL TARAF/STATUS KEHIDUPAN, SUKU, AGAMA, DAN TEMPAT TINGGAL. Hal  ini penting karena kehadiran pemerintah dan negara semaikin jelas dalam bentuk  ini.

subsidia

Subsidi tidak akan menciptakan masyarakat yang malas atupun masyarakat peminta-minta. Kalau Pemerintah hanya bisa menaikkan BBM saja untuk mengurangi  beban  keuangan, itu berarti kurang kreatif. Buat apa masyarakat di motivasi  untuk kreatif kalau pemerintah sendiri menjalankan pemerintahnya mengandalkan kreatifitas sepihak.  Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menambah devisa dan mengurangi beban negara. Pemerintah dengan seluruh komponennya yang punya dedikasi dan kompetensi tinggi  tentu tahu betu (jika) jalan keluar  terhadap  masalah ini, tanpa harus memorong atau mengurangi besarnya subsidi yang pemerintah telah berikan.

Sangatlah  layak, bahwa kebutuhan hidup yang menentukan hajat hidup orang banyak seperti  BBM, listrik, air, transportasi,  dan lainnya  harus dibawa kendali pemerintah kita. Kebijakan pemerintah diharapkan (wajib) mengedepankan kesejahteraan rakyat secara luas. Penyedian dan pemenuhannya harus dipastikan merata dan secara proporsional  sehingga tidak seorangpun warga di negara kita ini tidak terpenuhi kebutuhannya. Artinya kehadiran negara sebagai penyedia layanan harus semakin dikokohkan. BAHKAN  SUBSIDI HARUSNYA MENJADI BAGIAN DARI KEDAULATAN NEGARA.  Bukan saja, kedaulatan pangan, kedaulatan dana, dan kedaultan lainnya yang menjadi arah dan prioritas pemerintah kita. Semua ini tentu akan terwujud – Insya Allah – jika rakyat dan pemerintah secara bersama-sama berdiri dalam satu kedaulatan penuh. Sebenarnya tidak perlu ada istilah subsidi di sini jika kita semua mengetahui dan menyadari  bahwa  kebutuhan dasar atau primer merupakan bagian penting atas terjalinnya hubungan yang erat antar rakyat dan pemerintah. Keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sangatlah jelas terlihat dari sejauh mana pemenuhan kepentingan rakyat ini, dan inilah hakikat dari sebuah kedaulatan. KARENA BERAKAR DARI RAKYAT UNTUK RAKYAT. ITULAH KEDAULATAN RAKYAT.

Mengurangi subsidi artinya: potensi  PHK akan meningkat,  jumlah pengangguran semakin tinggi , akibat tingginya biaya produksi sehingga terjadi rasionalisasi kerja. Siapa yang paling merasakan dampaknya? Para pekerja kita ! Nikmati dan teruskanlah!!!!

Mengurangi subsidi artinya: Berpotensi meningkatkan jumlah masyarakat kita yang miskin. Jumlahnya sangat besar. Sebandingkah dengan program yang di alokasikan untuk kompensasi mereka?!!!

Mengurangi subsidi artinya: Semua lapisan masayarakat akan merasakan akibatnya. Terlebih lagi mereka yang hidup dalam kondisi ekonomi  rendah dengan penghasilan UMR atau dibawahnya. Pasti! Akan berdampak terhadap asupan gizi anak-anaknya, yang pasti anak kita dan anak bangsa ini !!!  Nikmatilah dosa-dosa sosial ini wahai para penentu kebijakan ! Pasti  kita akan dimintai pertanggungjawaban ……

Wassalamu ‘Alaikum Wr.Wb

Syarhan – Insepar Foundation

Imam Khomeini Asserted on Genuine Message of Ashura


imam-hossein

The founder of the Islamic Republic used to say the holy months of Muharram and Safar have kept Islam alive and advised preachers to promote genuine teachings during this period.
May his memory live forever, he who consistently used to testify that “Whatever we have, we have it by the blessings of Ashura and Muharram.
The great Imam himself used to highlight that how the grandson of the holy prophet of Islam, undertook untiring efforts to revive the divine teachings and defended the Islamic societies from cruel and tyrant rulers.
Imam Khomeini used to participate in ceremonies which were held in remembrance of sacrifices rendered by Imam Hussein (PBUH) and his loyal companions. Imam used to remind the official and the Muslim masses the traditions narrated by the holy prophet which highlight virtues of Imam Hussein (PBUH) and his role as the lamp of guidance.
The leader of the Muslim world also advised the masses and preachers to focus on core message of Ashura and the real practical perspectives of the mourning ceremonies being held each year in remembrance of the sacrifices rendered by grandson of the holy prophet of Islam.
The great Imam was staunch supporter of holding these ceremonies where the sufferings of the members of the prophet’s household are expressed and explained for the participants. But he wanted these ceremonies to become a platform for promotion of real Ashura culture and genuine teachings of Islam.
From the viewpoint of the founder of the Islamic Republic, in most cases, common people or elites just participate in such ceremonies and shed teas and then leave these religious gatherings without understanding the real message of Islam. The great scholar of Islam emphasized that people must comprehend the objectives Imam Hussein (peace be upon him) was pursuing by this holy resistance and uprising against oppression and tyrant ruler of the time.
The founder of the Islamic Republic emphasized that Ashura is the overflowing spring of valor and liberality, and the secret of permanent struggle for safeguarding the Divine religion of Islam, the code which ushers in monotheism and justice, and befits the eminence of human status, so that mankind may, with the help of its God-given consciousness and the fervor of seeking the truth, become fit for the vicegerency of God on earth, and man’s soul may become a manifestation of the oneness of God and justice.
The world religion and spiritual leader maintained that Ashura had played a great role in victory of the Islamic Revolution in Iran and it will play decisive role in defeating the tyranny anywhere in the world. Ashura is the inspiration behind the fervent Revolution which is the greatest event of contemporary history, and which took place under the guidance of the great Ashuraic leader of our times, Imam Khomeini, for establishing a society based upon the foundations of monotheism and justice.
There is widely recommended that opportunities for providing a proper understanding of the contents of the Movement of Ashura should be honored, and the presence of scholars and the cultural elite of Iran and the Muslim nations as well as non-Muslim scholars from other countries for understanding, analyzing and contemplating the contents of this event, should be given due regard. Scholarly discussions in this regard could spread and raise the level of knowledge, research and propagation concerning the sublime thoughts of Islam, the Ashura and Imam Khomeini.
The founder of the Islamic Republic also wanted the people to hold such mourning religious gatherings without understanding the real philosophy of this important and tragic event.
The founder of the Islam Republic also said that some previous regimes such as Pahlavi dynasty wanted to eradicate the culture of Ashura from society.
Imam maintains the culture of Ashura challenges and confronts all types of oppression, tyranny, colonialism and carries cultural, social and political messages.
The infallibles wanted these ceremonies to become the platform for promotion of justice and real Islamic administration be developed from such stages.
The infallible successors of the holy prophet have recommended of holding such a religious gatherings where sufferings of the Imam Hussein and his pure progeny (peace be upon them) must be expressed.
The great intellectuals advised all clerics and deliver such speeches at religious gatherings which can elevate the Islamic societies towards spiritual, moral and political development.
There is widely reported in authentic Islamic resources that the holy prophet also said:  “Truly Hussein is the lamp for guidance and the ark for salvation.”, adding, “Hussein is from me and I am from him.”
The spiritual leader also advised the Muslim world to pay attention to important message of Ashura which aims promotion of basic principle of Islam and that would be “commanding for good and forbidding from the bad.”
Greetings to Hussein ibn Ali (peace be upon them) and all praises upon him who, with very few aides rose to uproot and do away with the widespread cruelty. The insignificant number of his companions did not make Imam Hussein (PBUH) think or compromise with the oppressors.
He let Karbala become the site of the martyrdom of himself, his children and his few companions.
The free-minded people of the world gratitude and hail Imam Khomeini, the great man who was a perfect example of a follower of the Master of Martyrs. A man who, in the dark night of oppression, hoisted the shining torch of martyrdom, and raised the banners of uprising.
Imam Khomeini taught the barefooted and oppressed peoples of the world the slogans of “Either Victory or Martyrdom” and the “Triumph of Blood over the sword,” and, in the end, overthrew the “Yazidi” ruler of the time by the hands of a nation that had cherished their love for Ashura and the memory of the bloody event of Karbala in their heart by tears, blood and truthfulness, from generation to the next.

Asyura: Epik Cinta, Pengabdian dan Kesetiaan


IMAM HUSEIN

Epik Imam Husein as, dikenal sebagai simbol konfrontasi kebenaran dengan kebatilan serta pengorbanan di jalan agama. Gerakan Imam Husein as bukan sekedar sebuah peristiwa, melainkan sebuah budaya yang hidup dan melahirkan berbagai gerakan baru. Sebuah budaya yang bangkit dari konteks Islam dan memainkan peran determinan dalam menjaga kelestarian nilai-nilai luhur agama. Yang pasti epik seperti ini, tidak akan pernah terhapus dari sejarah dan akan selalu menjadi motivasi dalam memerangi kezaliman bagi setiap generasi umat manusia.

Pada hari kesepuluh bulan Muharram tahun 61 Hijriah, seruan adzan dikumandangkan oleh Ali Akbar, putra Imam Husein bin Ali as menandai subuh Asyura. Shalat ditunaikan. Seakan semua wujud mengikuti Husein as. Para sahabat pun menunaikan shalat penuh kecintaan mengikuti pemimpin mereka. Seusai shalat Subuh, para perindu syahadah itu bangkit. Seakan tidak satu pun di antara mereka yang merasa kehausan dan seakan tidak ada ancaman 30.000 pedang yang telah terhunus di seberang medan sana. Umar bin Saad, panglima pasukan musuh mengetahui bahwa Husein as dan para sahabatnya tidak akan menyerang dan telah siap berperang.

Imam Husein as mengatur laskarnya yang hanya berjumlah puluhan dan menyerahkan panji kepada saudaranya yang setia Abbas bin Ali. Kemudian beliau maju ke depan dan memperkenalkan diri dengan harapan masih ada sekelumit kesadaran dalam hati pasukan musuh. Beliau berseru:

“Wahai kaum, kitab Allah dan kakekku Rasulullah (Saw) yang akan memberikan keputusan di antara aku dan kalian. Wahai masyarakat, mengapa kalian menghalalkan darahku? Bukankah aku putra Nabi kalian? Apakah kalian tidak mendengar ucapan kakekku tentang diriku dan saudaraku yang mengatakan: Putraku Hasan dan Husein adalah pujangga para pemuda penghuni sorga?”

Namun apa gunanya nasehat Imam Husein as, seakan hati mereka telah terkunci. Umar bin Saad menggerakkan pasukannya dan dengan suara keras dia berkata, “Saksikan wahai pasukan, katakan kepada penguasa Kufah bahwa aku adalah orang pertama yang melepaskan panah ke arah Husein.” Kemudian langit Karbala tertutupi dengan ribuan panah yang melesat ke arah pasukan Husein as. Kepada pasukannya Imam Husein as berkata, “Panah-panah ini adalah pesan perang. Bangkitlah, rahmat dan kasih sayang Allah (Swt) bersama kalian.”

Para sahabat Imam Husein as berperang tanpa secuil rasa takut dan menampilkan cinta dan pengorbanan yang tak terbayangkan. Para sahabat saling berlomba mendahului untuk terjun ke medan perang. Mereka dengan penuh hormat meminta ijin dari Imam Husein as untuk terjun ke medan perang. Hati para sahabat telah diluapi kecintaan kepada Allah Swt dan Imam Husein as. Hakikat ini dapat disaksikan dengan jelas dalam pasukan Imam Husein as, bahwa para sahabat beliau terjun di medan pengorbanan dengan kesadaran, kecintaan dan keimanan penuh.

Bagi Imam Husein as dan para sahabatnya, rasa sakit akibat kebodohan dan kejahilan masyarakat, lebih pedih dari luka pedang. Oleh karena itu, mereka berjuang bertekad melakukan tugas jihad terpenting yaitu memberantas kebodohan dalam pikiran masyarakat. Dalam sejarah Karbala disebutkan bahwa sebagian besar sahabat Imam Husein menyampaikan ucapan-ucapan bernilai tinggi untuk menyadarkan musuh. Di medan laga, para sahabat Imam Husein as melantunkan bait-bait syair epik memperkenalkan Imam Husein as dan keluarga Nabi, sebelum mereka menunjukkan heroisme di jantung barisan musuh. Ini menunjukkan bahwa musuh tidak berhenti berusaha merusak citra Ahlul Bait Nabi.

Masing-masing sahabat Imam Husein as yang bergegas ke medan perang, mampu menggetarkan barisan musuh hanya dengan menunjukkan keagungan iman dan perjuangan mereka. Setelah itu mereka akan berperang dengan penuh keberanian hingga terjatuh dengan badan penuh luka. Imam Husein as mendatangi setiap sahabatnya di medan perang, menghibur mereka dan memuji kesetiaan mereka. Para sahabat yang tidak sanggup mengungkapkan kebahagiannya dengan pertemuan tersebut, akan menjawab seruan beliau dengan ucapan “labbaik ya Husein”.

Para syuhada telah berjatuhan di medan perang, pasukan Imam Husein as hanya tinggal sangat sedikit. Imam Husein as memandang pasukan musuh dan berseru: “Apakah ada orang yang membantu kami demi Allah? Apakah ada orang yang membela kehormatan Nabi dan menjauhkan kami dari musuh?”

Sengat terik matahari padang Karbala merampas dahaga dan daya dari perkemahan Imam Husein. Anak-anak gelisah. Salah satu sahabat mengabarkan waktu shalat dzuhur. Imam Husein as menatap ke langit dan berkata, “Kau telah mengingat shalat; semoga Allah menempatkanmu di antara para penunai shalat. Iya telah tiba waktunya; mintalah mereka (musuh) untuk menangguhkan sejenak dan berhenti perang sehingga kita dapat shalat.”

Barisan shalat berjamaah telah tersusun. Jumlah jemaah shalat tidak mencapai 30 orang. Di cuaca panas Karbala dan di dalam kepungan tombak, pedang dan panah musuh, ditunaikan shalat dengan penuh kekhusyukan. Bukankah Imam Husein as berkata bahwa dia bangkit melawan demi menegakkan amr makruf dan nahi munkar? Shalat Imam Husein as dan para sahabat setianya mengindikasikan tujuan tersebut. Tiga sahabat Imam Husein as termasuk Said bin Abdullah, salah satu penjaga barisan shalat, telah menjadi perisai penuh dengan panah. Usai shalat, Said bin Abdullah telah berlumuran darah.

Para sahabat telah pergi dan hanya para ksatria keluarga Imam Husein as dari Bani Hasyim yang tersisa. Ali Akbar, Abbas dan saudara-saudaranya, para putram Hasan bin Ali as dan putra-putra Aqil dan Zainab. Selama masih ada sahabat, Imam Husein as tidak mengijinkan seorang dari Bani Hasyim terjun ke medan perang. Sekarang adalah detik-detik perpisahan. Ali Akbar menyampaikan perpisahan dengan sang ayah menuju medan perang. Setelah itu, disusul Qasim bin Hasan, kemudian para putra Ali dan lainnya, sampai akhirnya sang pembawa panji laskar Imam Husein as yaitu Abbas bin Ali mengorbankan jiwanya.

Sekarang hanya tinggal Husein bin Ali as, kesayangan Rasulullah Saw, terkepung musuh yang congkak dan hina. Imam Husein as untuk terakhir kalinya ingin menyempurnakan hujjah-nya kepada musuh. Beliau mengangkat putra bayinya yang kehausan Ali Asghar dan meminta air untuk anak tidak berdosa ini. Akan tetapi musuh menembakkan panah ke leher Ali Asghar. Imam Husein as dengan duka mendalam, memercikkan darah putranya ini ke langit dan memohon agar Allah Swt menerima pengorbanannya.

Para sahabat dan keluarganya telah gugur syahid, Imam Husein as sendirian, namun berdiri tegak dan gagah di medan perang. Ke arah mana pun beliau bergegas, barisan musuh akan porak-poranda. Tidak ada yang berani bertarung menghadapi Imam Husein as. Umar bin Saad berteriak: “Sedang apa kalian? Ini adalah putra Ali, jiwa Ali ada di raganya, jangan kalian berduel dengannya.” Setelah beberapa waktu berperang tidak imbang di padang yang panas menyengat dan dalam kondisi kehausan dan kelelahan, Imam Husein as terdesak. Beliau sejenak berdiri diam. Ketika itu salah seorang dari pasukan musuh melempar batu yang mengena dahi Imam Husein as hingga pecah dan mengucurkan darah. Aksi itu disusul dengan tembakan panah yang menusuk dada Imam Husein as dan beliau pun semakin bersimbah darah. Imam Husein as menengadahkan kepala ke langit dan berkata, “Ya Allah! Kau tahu pasukan ini, akan membunuh seseorang yang kecuali dia tidak ada lagi putra dari putri Nabi di muka bumi.”

Untuk beberapa saat Imam Husein as terbaring di atas tanah dengan badan penuh darah. Tidak ada yang berani mendekati beliau. Pada akhirnya, seorang dengan perangai kejam dan sadis mengayunkan pedangnya ke kepala Imam Husein as. Darah terpercik dari kepala beliau. Kemudian Imam Husein as dengan hati penuh kerinduan untuk segera bertemu dengan Allah Swt berkata: “Ya Allah! Aku ridho atas keridhoan-Mu dan berpasrah diri kepada-Mu. Wahai Tuhan yang akan mengadili seseorang sesuai dengan amalnya, adili antara aku dan masyarakat ini, karena Kau adalah sebaik-baiknya Hakim.”

Sanan bin Anas turun dari kudanya dan berdiri di atas Imam Husein as, kemudian mengayunkan pedangnya ke leher Imam Husein as. Langit pun gelap berkabut. Kebenaran telah tertancap di tombak. Husein as dengan bibir kehausan melantunkan ayat-ayat al-Quran dan epik Asyura pun mencapai puncaknya. Salam sejahtera kepada Husein as dan para sahabatnya yang setia.(IRIB Indonesia/MZ)